Minggu, 29 September 2019

Kisah di Balik Aksi


Surabaya, 26 September 2019 menjadi bukti kepedulian rakyat Indonesia khususnya warga Surabaya terhadap berbagai macam ‘keruwetan’ yang sedang terjadi.  “Surabaya Menggugat” menjadi sebutan atas perjuangan arek-arek Suroboyo untuk menyuarakan penolakan demi Indonesia yang bermartabat. Aksi yang didominasi mahasiswa dari berbagai universitas di Surabaya dipusatkan di depan gedung DPRD Jawa Timur. Aspirasi mereka disampaikan dalam berbagai macam cara dan bentuk, seperti orasi yang menjadi ajang penguatan aksi, poster yang relevan dengan prnolakan hingga poster lucu dari kaum remaja yang mengundang tawa.

Agent of change yang disematkan di diri mahasiswa menjadi beban tersendiri. Ada rasa malu ketika menyandang peran tersebut tanpa dibarengi dengan kontribusi. Apalagi terhadap keadaan yang mengharuskan kaum berintelektual menjadi garda terdepan dalam mencetak perubahan.

Secuil kisah tentang mahasiswa yang bergabung dalam aksi demonstrasi yang merupakan pengalaman pertama selama menjadi warga Indonesia. Entah setan apa yang sedang merasuki segelintir mahasiswa yang sering kali mendeklarasikan dirinya sebagai sans people untuk mengikuti aksi. Tak ada organisasi yang menaungi kami, tak ada konsep sebelum berangkat dan tak tau arah harus kemana dan bagaimana di lokasi. Tidak memakai atribut khusus sebagai identitas diri, tak pandai berorasi, tak ada bendera untuk dikibarkan juga tak ada aspirasi yang tersampaikan melalui tulisan. Hanya masker yang terpasang dan setidaknya cukup memberikan rasa aman dan nyaman. Gerakan hati masing-masing personil adalah bagian dari langkah kami. Seorang kawan melempar pertanyaan, “Aspirasi apa yang akan kamu sampaikan?” Salah satu menjawab, “Nanti kalo disamperin dan ditanya, jawab aja ‘nggak mau, nggak mau, pokoknya nggak mau’.” Haha cukup renyah.

Beberapa jam sebelum pemberangkatan aksi, Khafif, si kaum rebahan mengatakan, “Aku kepikiran sama Soe Hok Gie dari semalem.” Oke, ini membuktikan masalah yang benar-benar serius. Neng Anis, si cerewet yang membuat mindset serba horor saat aksi berubah jadi renyah tak karuan. Juga Okta Nurma, Ketua Pondok al-Jawi yang tak pernah mau diajak ngopi, sekalinya terjun langsung ikut aksi. Dan Candra yang tak perlu pikir panjang untuk menerima ajakan dan terheran-heran saat melihat lelucon kami. Si tamvan Marcos yang rela berpanas-panasan, dan apakah hanya demi konten instagram? Tidak, kupikir. Karena yang kutau skincaremu jauh lebih penting dibanding itu. Gobang, kami anggap sebagai korlap yang mulai melemah di akhir perjalanan. Bu Nyai Ibad mengatakan, “Ada tamu aja aku tetap di kamar, demi apa aku mau ikutan aksi yang harus berpanas-panasan juga berdesak-desakan”. Mbak Leli, ini cukup membuktikan bahwa analisaku salah tentangmu. Dan Zulfikar, anggota pecinta alam, kami ucapkan terimakasih telah memberikan kami gerakan pengisi aksi.

Tidak peduli jurusan, kami berangkat dengan tekad yang tinggi. Berusaha menyusuri jalan yang memadat akibat penumpukan mahasiswa dari berbagai universitas, komunitas, maupun masyarakat sipil di Surabaya. Sebelum kaki melangkah terlampau jauh, salah satu dari kami membagikan plastik hitam untuk mengumpulkan sampah. Pemandangan indah bukan? Dari sekian ribu orang, mungkin hanya segelintir yang memikirkan tentang sampah. Dan bukan hal baru jika sampah menjadi problem utama pasca aksi. Bagaimana tidak? Ketika ada yang merunduk untuk memungut sampah, dengan wajah tanpa dosa ada yang membuang gelas air mineral kosong tepat di belakangnya. Lalu, masih adakah hati nurani yang melekat dalam dirinya? Tergeleng-geleng melihatnya. Ada juga yang hatinya tergerak dan turut memungut sampah. Tak ada rasa malu yang menyelimuti saat memungut sampah, itu adalah bagian dari kesenangan kami. Dan saat itu, kami bermanuver menjadi aktivis lingkungan. Entah ini harus disikapi dengan guyonan atau serius, Bu Nyai Ibad menyampaikan bahwa aksi golongan kami adalah Implementasi Maqashid Syari’ah, Hifdz al-Wathan wa Hifdz al-Bi’ah. Tak ada salahnya bukan? Dan kami mengakui itu.

Tak merasakan lelah, kaki tetap mengajak untuk melangkah sampai pada titik pusat aksi. Namun sepertinya, amunisi sangat perlu diperhatikan sebelum melangkah lebih jauh. Bakso di pinggir jalan menjadi satu-satunya pilihan. Sembari menunggu bakso disajikan, lalu lalang mahasiswa ber-almamater menjadi pemandangan indah. Tiba-tiba datang segerombolan mahasiswa yang ternyata teman sejurusan. Fixed, personil bertambah.

Satu hal, semua bisa berkontribusi dalam segala cara. Ada yang mengatakan, “Tak perlu turun jalan untuk Indonesia. Masih ada jalan selain itu, yaitu berdoa.” Bagiku, doa untuk negara sendiri adalah kewajiban untuk seluruh warga negara. Namun, tak ada salahnya untuk berkontribusi dengan cara lain. Yang jelas, saat turun jalan masih banyak yang mengiringinya dengan doa. Berharap yang terbaik untuk Indonesia.

Senin, 16 September 2019

Cermin Introvert


Cermin Introvert

Apa yang terjadi ketika seorang berkepribadian introvert bertemu kawan baru yang seorang introvert juga? Bisa dibayangin bagaimana heningnya dunia ini?

Aku cukup bisa mengenali bagaimana kehidupan seorang introvert. Bukan karena punya sensor, tapi observasiku cukup tajam tentang itu.
Kalida Zahra Luxfiati. Nama yang cukup milenial, kurasa. Dia adalah teman KKN yang sangat bisa memahami keruwetanku. Tak banyak alasan, dia mampu diam ketika aku diam, dia mampu ketawa ketika aku ketawa, dia mampu serius ketika aku serius dan dia mampu mengingatkanku saat aku salah arah. Begitu sebaliknya. Ku akui, dia lebih berani dalam segala hal. Khususnya tinggal di posko (read: rumah) sendirian. Rumah yang bukan miliknya, rumah yang jelas masih kental horornya dan rumah yang berada di deretan belakang. Dia mampu menepis itu, demi apa? Ku sangat tau alasannya. Dia sedang ingin menyendiri untuk sekedar mengisi energinya. Tak banyak yang tau memang. Dan, orang intro sudah biasa disalahpahami.

Banyak hal konyol saat pertama kali kita bertemu, saat kita selalu disandingkan untuk ke sana kemari bersama. Saat itu, diminggu pertama, kita selalu naik motor berdua, kita sama-sama berpikir keras hanya untuk sebuah obrolan kecil, karena kita sama-sama tak pandai basa-basi. Walhasil, diam menjadi pilihan utama. Lucu tingkat dewa saat setelah mengenalnya lebih dalam. “Oh dia seorang intro”, pikirku. Tak butuh waktu lama, kita bisa akrab dan saling memahami. Dan keheningan selama perjalanan itu mampu pecah dengan sendirinya. Obrolah remeh sampai obrolan tingkat dewa jadi teman andalan. Dari becanda sampai ngritik pemerintah. Ya, begitulah siklusnya.

Anehnya, kita selalu dapat jadwal interview ke manapun berdua. Apa yang berat dari sekedar interview? Basa basi, pastinya. Tapi, aku suka ketika interview dengan pakar sejarah, berjam-jam pun aku mampu. Ingat pas kita ngobrol panjang lebar sama Bang Asfiyan di lapangan? Waktu itu, aku memberanikan diri untuk bertanya tentang ‘sesuatu’ yang cukup beresiko. Aku hanya ingin tau sesuatu itu dari berbagai sisi dan sudut pandang. Dan, kutau kamu pasti bisa menebak arah pertanyaanku. Dan setelah itu, kita sepakat ingin mengajak beliau ngobrol santai di cafe. Ah wacana.

Aku pernah mengatakan ini melalui balasan storymu, “Zahra, intromu totalitas”. Aku hanya berharap, saat itu kamu jadi Zahra yang bisa mengontol diri, walau jiwa tak mampu lagi bersahabat. Aku paham betul, bagaimana dampak sikap intro untuk sebuah perjalanan singkat yang harus menghasilkan sesuatu. Maka, jauh sebelum berangkat KKN, aku sudah menyiapkan energi besar untuk itu. Berharap aku bisa menyeimbangi semua keadaan. Ternyata tekadku berhasil hanya dalam waktu 30 hari. Sedangkan masa KKN adalah 45 hari. Walhasil, dalam 15 hari terakhir, aku tidak bisa lagi menahannya. Aku diam di keramaian, aku berfikir keras untuk sesuatu yang kecil aku menepi mencari ketentraman dan yang pasti aku berpikir tentang apa yang telah aku lakukan selama 30 hari. Saat seperti itu, hanya Zahra yang berpesan “please, bertahanlah!”. Dan cukup kujawab dengan tawa renyah.

Satu hal yang akan terus terngiang di memoriku adalah saat kamu mengingatkan aku tentang sikap di luar kendaliku ketika aku down. Kamu tak langsung menegurku, kamu menunggu diriku sadar dan meyampaikan itu padamu. Iya, terimakasih banyak untuk itu.

“Zahra, sepertinya berdiri di antara kerumunan bintang lebih menentramkan daripada berdiri di antara kerumunan manusia.” Langit Sangasanga mampu menyumbang banyak energi selama menitih langkah. Entah kenapa, kerumunan bintang itu selalu menampakkan sisi artistiknya. Aku sering keluar rumah hanya sekedar menatap langit, bahkan selepas wudhu, aku berdiri lama menikmati parasnya langit Sangasanga. Dan, kamu pernah mengatakan, “Aku suka sama bintang itu (menunjuk salah satu bintang), dan aku selalu inget letak keberadaannya. Dia bintang yang sangat terang.” Aku menatapnya dengan tatapan serius, berusaha mencari bintang yang dia maksud. Rupanya, dia memang bintang yang paling terang di antara bintang lainnya. Dan entah kenapa, aku selalu mengatakan ini padamu, “ Zahra, aku ngerasa kita ini dekat banget sama langit. Siang ataupun malam, aku bisa merasakan itu. Dan aku bisa merasakan bedanya langit sangasanga dengan langit Surabaya. Apa karena ini dataran tinggi?” dan kamu selalu jawab, “Ah masa sih? Engga, biasa aja.” Baiklah, mungkin itu hanya pengamatanku yang salah. Tapi aku sendiri gagal menepis itu.

Jadilah Zahra yang asli. Tak perlu mencoba untuk menjadi Zahra yang lain. Karena yang terpenting adalah diri yang mampu mengontrol ego. Big thanks to you. I wish, i can meet you in another time and place.

Sedikit curahan hati seorang intro nih,
Sangat berat bagi seorang introvert untuk melepaskan atau menerima semua keadaan. Tapi, bukan juga tidak mungkin baginya jika suatu saat ia menyadari sikap yang telah ia berikan pada lingkungannya. Dan, bisa jadi sampai detik ini ia berusaha untuk mengobati dirinya sendiri. Jangan dikira ia tidak melakukan apapun. Jangan salah, hatinya sedang bergejolak melawan egonya sendiri. Bagaimana tidak? Dirinya dipaksa untuk gampang beradaptasi, gampang menerima keadaan yang tidak ia sukai, dan gampang menyamakan karakternya dengan orang lain, juga gampang menerima orang baru. Jiwanya tergoncang, dan saat itulah hanya dirinya sendiri yang mampu mengobati jiwanya. Semua itu tidaklah mudah, semua butuh proses. Dan yang paling penting, ia mampu mengenal dirinya dan mampu mengobati dirinya sendiri.