Kamis, 07 November 2019

Kalam Ringkas Pemandu Kisah


Kalam Ringkas Pemandu Kisah
(10 Juli - 23 Agustus 2019)


Ini adalah secuil kisah KKN, bukan KKN versi horor yang pernah jadi trending topic, walaupun saya bisa menyajikan kisah horor dan mistisnya wilayah yang saya tempati, tapi saya tidak memilih sisi itu.
Baiklah,
45 hari bukanlah waktu yang singkat, 45 hari adalah waktu yang panjang. Bagi siapa? Bagi yang tidak mampu beradaptasi dan merendahkan ego diri sendiri. Di minggu pertama, sudah maklum jika still counting menjadi topik utama, minggu berikutnya akan berjalan seperti biasa bahkan hari dirasa semakin cepat berlalu. Begitulah siklus ketika berpindah tempat untuk sementara.
45 hari bermukim di Kelurahan Sangasanga Dalam, Kecamatan Sangasanga, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur sudah dapat merasakan apa yang masyarakat rasakan. Pusatnya kekayaan alam, namun miris imbalannya. Dua sebutan untuk Kecamatan Sangasanga yang terkenal dengan perjuangan merebut kekayaan alamnya, yaitu Sangasanga Kota Juang dan Sangasanga Kota Bangkit. Sangasanga merasakan pedihnya jajahan Belanda selama beberapa tahun yang pada akhirnya merdeka pada 27 Januari 1947. Bukankah Indonesia merdeka tahun 1945? Ya, di balik deklarasi kemerdekaan, masih ada sebagian pulang yang terjajah dan berjuang keras untuk merebut tanah air.
Minyak bumi, juga batu bara adalah anugerah yang patut untuk disyukuri. Anugerah itu dapat berbalik menjadi sebuah bencana jika tidak diimbangi dengan kepedulian terhadap dampak yang ditinggalkan. Kerusakan alam menjadi dampak utama. Udara kotor, panas menyengat, air asam menjadi problem utama yang harus segera ditemukan solusinya. Pemberhentian operasi tambang bukan solusi tepat tanpa adanya peralihan sumber energi. Lalu, siapa yang patut disalahkan? Entahlah. Sekedar informasi bahwa di daerah yang katanya kaya akan sumber daya alam tersebut, pada kenyataannya belum mampu meng-iya-kan kondisi yang makmur. Listrik padam sudah menjadi agenda harian, LPG dan bensin yang mahal juga langka menjadi sebuah ironi. Teringat obrolan dengan Zahra di atas motor yang cukup memutar otak, “Aku heran, kenapa gitu ada yang belum bisa menerangi dirinya sendiri, tapi malah menerangi yang lain?” Mendengar perkataan itu, entah kenapa aku yang selama ini tinggal di Jawa dan dengan enaknya menikmati hasil kekayaan alam dari daerah ini merasa sangat bersalah. Aku hanya menjadi penikmat di atas kehancuran si empunya.
.
Oke, kembali ke kisah KKN Posko 9 di Sangasanga Dalam. KKN Nusantara tak mungkin terdiri atas satu pemikiran. Namanya juga nusantara, dimana berbagai macam ras dan suku disatukan. Bukankah Tuhan menciptakan manusia dengan beragam agar saling mengenal? Betul, dikatakan mengenal adalah saling memahami yang berujung pada saling menghargai.
Cross culture, satu frase yang membuat pelakunya berpikir dua kali lipat. Ditambah lagi dengan argumen-argumen dari sisi mistisnya tuan rumah. Tapi, semua terjadi dengan indah dan penuh dengan pembelajaran serta pengalaman. Di sini, patut diapresisasi kebaikan teman-teman selama menjadi tuan rumah. Ke-solid-an yang kami bangun sempat tergoyahkan karena ego pribadi. Iya, maafkan jika egoku turut menjadi perusak atas ke-solid-an posko. Namun, semuanya terbayar dengan foto pencetak kenangan di kota. Segala kekonyolan dan keusilan kalian terekam dengan baik. Bagaimana kekonyolan si Dedy ketika mengajari bahasa Jawa yang salah ke tuan rumah. Dan bagaimana keusilan Roby dalam menakut-nakuti teman seposko. Sedikit mengeluarkan sisi subyektif, aku belajar banyak hal tentang apapun. Aku belajar dari ketua posko sekaligus korwil Sangasanga yang super tanggungjawab, Roby Hidayatullah. Sangasanga-Samarinda serasa tinggal mengedipkan mata. Walau ku tau, itu pasti melelahkan. Satu hal yang bikin aku geram, dia selalu memancing hal-hal yang ghaib. Bu Sekretaris yang namanya cukup milenial, Kalida Zahra Luxfiati. Cukup menjadi partner diskusi juga pemahaman diri. Sepanjang hari itu, melihat dan memahamimu serasa melihat dan memahami diriku sendiri, layaknya bercermin. Bu Bendahara, Rizka Ramadani yang manajemen keuangannya diakui jempol. Oh iya, terimakasih nasi pecelnya pagi itu. Karenanya, aku mengerti apa itu kepuhunan. Rayma, apalah daya kita yang hanya asistennya Arifa. Hehe terimakasih coto makasarnya juga gelas pemuat rindu. Mami Hani yang waktu malam terakhir saat semua sudah terlelap mengatakan, “Itu nah Rik daster, pilih satu di plastik item. Kamu katanya pengen.” hehe terimakasih banyak, Mami. Satu teman yang jadi bahan becandaan karena suka bicara dengan suara kecil, si cantik Ayu. Hehe terimakasih sudah memberikan hiburan gratis dan maafkan kelakuan-kelakuan kami. Orang ini suka sibuk sendiri dengan laptopnya sampai malam hari, entah apa yang dikerjakan. Satu lagi teman yang sejurusan, Ayatullah, kurasa namanya sudah sesuai dengan jurusan yang ia ambil. Dan rupa-rupanya ia adalah cerminan atas jurusannya. Ya, Ilmu Alquran dan tafsir menjadikannya sebagai juru do’a. hehe. Lima anggota posko yang katanya ‘duta kampus’ dari Jawa, apakabar? Sudah presentasi laporan hasil KKN? Kurasa, kalian punya cerita masing-masing yang patut dikenang. Dan bukankah keluar pulau tanpa mengeluarkan biaya menjadi candu untuk kita? Semoga kelak bisa keluar negeri tanpa biaya alias gratis.
Satu titik fokus pengerjaan program berlokasi di RT.24, tepatnya di balai tani. Kami ucapkan terimakasih banyak kepada Dedy yang telah menyalurkan ilmu sains-nya dalam melakukan percobaan pembuatan keripik kentang gantung (tanaman endemik Kalimantan) sebagai upaya pemberdayaan masyarakat. Tak mulus jalannya, tak semudah yang dibayangkan, entah sampai berapa kali melalukan percobaan yang pada akhirnya meng-iya-kan perkataan bahwa "hasil tak akan menghianati usaha". Upaya pembuatan keripik pogan (potato gantung) berhasil dengan renyah sampai berbunyi kresssss. hehe
Seharian tidak menginjakkan kaki di RT. 24 rasanya ada yang kurang. Entah ke balai hanya untuk siram-siram, yang jelas harus sambang balai. Tempat itu menyimpan banyak energi, apalagi di malam hari dengan suara khas alam. Panas menyengat tak menjadi penghalang untuk menyelesaikan program. Kulit gosong rasa eksotis sudah menjadi konsekuensi. Tak sadar akan kondisi itu, salah satu anggota balai menanyakan identitas diri dengan alasan ketika kembali ke kampung halaman, ditakutkan oang tua akan lupa dengan identitasku. Well, itu menggambarkan keadaan yang cukup parah.
.
Bertemu Pak Dasi dan Pak Zainuri yang kami sebut stake holder-nya Sangasanga Dalam, cukup menjadi api pemantik semangat perubahan. Belajar dari kesalahan masa lalu, bertekad kuat untuk mencapai perubahan dan siap bertarung demi generasi penerus adalah sikap yang harus diteladani. Dari niat baik inilah, Sangasanga Dalam khususnya RT. 24 terkenal dengan perlawanannya. Lahan bekas tambang yang membahayakan menjadi pemicu adanya perlawanan. Bukan perlawanan untuk meraih kepentingan pribadi, melainkan kepentingan maslahah umat. Aku, Zahra juga Bude turut serta dalam melakukan perlawanan secara halus. Ya, upacara kemerdekaan di lahan bekas tambang. Aku melihat ada keseriusan yang dibangun dari upacara tersebut, mulai dari anak-anak hingga para sesepuh. Sebuah tuntutan untuk mengembalikan alam seperti sedia kala, yakni dalam bentuk tanggung jawab perusahaan tambang atas galiannya. Semoga segera ada jawaban atas ikhtiar yang dibangun. Dan semoga, ucapan untuk kembali menengok ke Sangasanga dalam waktu 5 tahun lagi diijabah oleh Sang Empunya Kuasa. Aamiin.