Selasa, 14 Januari 2020

Luka-Langkah


Beberapa hari yang lalu ada seorang teman yang bisa dibilang overthinking curhat mengenai beban pikiran yang dibuatnya sendiri. Tentang keluarga, ekonomi, teman dan satu hal yang menjadi problem utama seorang mahasiswa tua, ya skripsi. Pertama, entah kenapa mata, hati dan otak kompak tertuju pada permasalahan teman. “Teman nomor sekian”, kataku. Bukan tanpa pengalaman bisa berkata seperti itu, karena saya pernah di posisi mendewakan teman. Mungkin, dia bisa dikatakan se-type dengan saya. Seorang yang ketika mempunyai teman akrab akan dianggap seperti keluarga sendiri, bahkan apapun akan diberikan kepadanya. Satu hal, apa yang kita anggap belum tentu dianggap oleh lawannya. Ya, posisi teman dalam kehidupan saya yang melebihi segalanya belum tentu dirasa oleh lawannya -teman. Maka, saya tersadar karenanya.

Kedua, suatu problem yang membuat diri saya flashback kepada kehidupan yang sangat terpuruk. Problem yang membuat kondisi psikis memburuk, namun juga menuntut untuk menjadi pribadi yang tegar. Dia memulai kisahnya dengan bercerita bagaimana orang tuanya memperlakukannya, bagaimana watak ayahnya dan beberapa problem yang lain. Ketika dia sedang berkisah, rasanya diri ini ingin menimpali, “Aku juga pernah ada di posisimu, bahkan lebih parah dari itu” . Bukankah kita harus menjadi pendengar yang baik saat ada yang berbicara, terlebih sedang mencari solusi atas segala hal yang meresahkan hati dan pikiran? Saya mencoba hal itu. Namun, semakin dalam dia bercerita, ego diri pun menang yang pada akhirnya keluar satu kalimat persis dengan kalimat di atas. Saya perjelas dengan kalimat, “Di depan kalian, aku bisa haha-hihi menyimpan segala bumbu kehidupan. Skill bertopengku cukup baik untuk masalah itu.” Entah, atas dasar apa dia meng-iya-kan ucapan saya.

Ada beberapa kesamaan cerita di antara kami, salah satunya sifat ayah yang keras. Namun, problem saya lebih dari itu -lebih menyayat hati. Bahkan, pernah ada di posisi hampir menjadi korban dari broken home. Disitu, saya belajar banyak hal dari ibu yang super tegar -suatu usaha untuk menguatkan anak-anaknya. Saya bisa bersaksi atas doa ibu sepanjang hari untuk bisa memulihkan keadaan. Iya, mungkin hanya doa yang bisa mengantarkan ibu pada kekuatan hati, jiwa dan raganya. Dan, jangan ditanya bagaimana dampaknya terhadap anak-anaknya terutama untuk anak bungsunya yang tidak punya tempat untuk meluapkan segalanya. Kamar pribadi menjadi tempat ternyaman untuk merengek, marah dan melapkan segalanya. Waktu itu, full day school sangat menyenangkan, karena bisa jauh dari hiruk pikuk kondisi rumah. Tapi, bukan juga menjadi solusi terbaik untuk bisa lepas dari masalah. Jarak sekolah dengan rumah yang hampir mencapai 13 km dapat menciptakan cerita halu di pikiran.

Suatu hari, saya memutuskan untuk melanjutkan study di luar kota -Surabaya tepatnya, untuk apa? Satu jawaban, untuk pergi mencari ketenangan. Egois? Iya. Meninggalkan ibu dengan kondisi yang demikian bukanlah sebuah solusi tepat. Namun, anugerah Allah datang saat mendekati perjalanan penuh drama -berangkat mencari ilmu. Sedikit banyak, ada kesadaran dari ayah atas apa yang telah ia lakukan. Dari situ, saya percaya itu semua atas doa ikhlas dari ibu. Ya, tiada kata yang bisa terucap selain kata syukur alhamdulillah.

Tidak banyak yang bisa saya berikan untuk menyelesaikan permasalahan di atas, telebih soal keluarga. Namun, dua hal yang saya tekankan kepadanya, yaitu doa dan menjalin komunikasi yang baik dengan orang tua. Satu, manusia tidak bisa lepas dari doa, karena manusia hanya bisa berusaha, selebihnya Tuhan yang menentukan. Maka, mintalah kepada Allah untuk menentukan segalanya dengan baik. Dua, orang tua akan memahami segalanya jika dijelaskan dengan baik. Terkadang banyak orang tua yang menimbang segala sesuatu dengan memposisikan dirinya sebagaimana dulu kala, tidak memposisikan dirinya di zaman sekarang -kontekstualisasi, katanya. Dia
mengakui, hubungannya dengan orang tuanya kurang baik. Untuk berkomunikasi saja dirasa sangat jarang. Hanya pada situasi dan kondisi tertentu. It’s a big problem. Terlepas dari seorang laki-laki yang cenderung tidak dekat dengan orang tua.

No body knows what we feel. Kurasa, setiap orang punya problem masing-masing. Dan, bisa jadi ada orang lain yang mendapatkan problem lebih dari yang kita dapatkan. Maka, itulah gunanya bersyukur.