Mindset buruk kurasa saat menilai novel adalah bacaan kurang berbobot. Entah, ini adalah sudut pandang yang tak seimbang ketika menilai suatu hal. Kesimpulan itu berasal dari asumsi diri saat novel-novel yang dilihat hanya berkisah perihal romantika yang disajikan secara berlebihan. Dalam pandangan orang, mungkin kurang normal jika tidak menyukai kisah romantika dalam sebuah novel. Ah, tidak juga bagiku. Apa aku yang tidak pernah merasakan hubungan percintaan? Ah, klise sekali jika persoalan itu harus diumbar secara berlebihan. Dan buruknya, mindset ini kebawa sampai usia tak bisa dibilang bocah yang hanya menilai dari luarnya saja. Padahal, novel tidak hanya bergendre romance. Masih banyak novel-novel fiksi yang cukup berat untuk ditelan. Tapi, karena penilaian general itulah yang menghasilkan mindset buruk.
Semakin ku dalami, mindset memang terkoneksi dengan idealisme. Ya, idealisme yang katanya dalam tes kepibadian sudah ku miliki sejak lahir ini kerap kali menimbulkan banyak konflik di akhir perjalanan. Tak jarang, sampai harus patah hati mendalam dengan idealisme yang terus dipuja. But, I got a big things. Kali ini, aku bisa menilai dari sudut pandang yang lain. Walaupun idealisme akan menimbulkan masalah, tapi tidak untuk semua hal. Beberapa hal justru idealisme harus menjadi garda terdepan. Hanya saja, harus ada keseimbangan dan prinsip lain yang menggandengnya. Kala ditabrakkan dengan kondisi yang tidak memungkinkan untuk memuja idealisme, maka fleksibel harus diterapkan. Ku rasa, saat jatuh pada lubang idealisme yang berujung pada munculnya problem, pada akhirnya akan tetap bisa mengambil pelajaran. Setidaknya, akan tau penilaiannya salah, setidaknya tau caranya menyembuhkan diri dan setidaknya bisa merubah cara pandang.
Satu prinsip yang entah sejak kapan dipuja-puja adalah harus mencari, melakukan atau mendapatkan sesuatu yang ‘berbobot’. Menurutku, ini idealisme yang cukup membunuh. Pasalnya, tidak semua yang berbobot itu bernilai, begitu sebaliknya. Karena prinsip itu, ketika ke toko buku pun, jarang sekali berdiri di barisan novel. Kaki akan mengarah pada barisan buku-buku pemikiran atau yang mendukung bidang studi. Tak jarang, berdiri lama di barisan buku-buku psikologi. Entah, psikologi memiliki energi besar untuk dipelajari.
Suatu masa, ada teman kelas yang membawa sebuah novel. Karena jam kosong, rasa bosan mencuat tak karuan. Akhirnya muncul tekad untuk membaca novel tersebut. Ya, sebuah novel yang pada akhirnya menjadi first novel yang tuntas habis dibaca dan dikagumi. Sebuah kisah di alam bawah sadar -semasa koma- yang dipenuhi dengan percakapan dua tokoh, Jani dan Leo. Setiap perkataan Leo akan membebani pikiran pembaca hingga merenung panjang yang diakhiri anggukan. Selebihnya, bisa dibaca sendiri. Heuheu. Entah, novel ini cukup untuk merubah mindset bocah yang pandangannya masih putih abu-abu, seperti seragam yang menempel di badannya. Novel ini berjudul “Koma”. Darinya, setidaknya aku bisa melirik gendre novel. Tapi tidak ada usaha lebih untuknya. Jika ada, ya dibaca. Jika tidak ada, ya tidak dicari. In my opinion, penulis novel itu pasti cerdas. Bagaimana tidak? Otaknya jelas berjalan tanpa henti menembus ruang yang tak terpikirkan orang lain.
Jadi, apa yang kalian lakukan semasa pandemi ini?
Aku merasa cukup produtif dibandingkan dunia yang berjalan normal. Mohon maaf, lagi-lagi ini dari sudut pandang saya sendiri lho yaa. Hehe. Produktif dalam mencoret-coret, menggambar, menulis hingga membaca. Tapi tidak produktif mengikuti kajian ramadhan, layaknya teman-teman. But, I’m very enjoy it. Stok buku yang belum khatam masih menumpuk di asrama. Buruknya, buku-buku itu tidak menemani perpulangan. Walhasil, harus membeli buku baru. Sesuai prinsip, kali ini berharap bisa membaca buku tentang pemikiran atau filsafat. Tapi, karena sedang menjalani penyembuhan dari batunya ego, tiba-tiba interested pada sebuah novel. Saat baca resensinya, langsung klik karena sesuai dengan kondisi jiwa. Dua novel sekaligus yang berjudul Egosentris dan Paradigma karya Syahid Muhammad siap dilahap. Dan, ini kali kedua harus kemakan idealisme. Egosentris cukup membuat jiwa berkecamuk. Banyak nasihat-nasihat untuk jiwa-jiwa yang sedang mencari jalan. Well, kali ini harus mati telak. “Mindset receh!” omelku selepas menuntaskan dua novel. Dari sini masih bisa belajar, bahwa dalam satu buku ada banyak pelajaran yang bisa dipetik, dan itu tidak melulu soal romantika. Ini tergantung sudut pandang si pembaca. Jadi, selamat membaca. Membaca itu tidak harus menjadi pengantar tidur. :)
Oke Dan Brown, aku sedang melirikmu.