“Ada apa dengan awan?” tanya si ego.
Hati berucap melirih, “Sesekali, lihatlah ke arah langit! Pesan apa yang sedang disampaikan langit melalui awan-awan yang terlihat sangat artistik?”
Sejenak termenung, kepala tertunduk, hati terisak,“Tuhan, kasih-Mu sangat dalam.”
Tergambar dengan elok, dekapan kasih Tuhan yang diberikan kepada hamba-Nya melalui berbagai wasilah. Mungkin, awan adalah salah satunya. Saat patah, Tuhan seraya menyeru Hamba-Nya untuk merenungi bentuk awan sebagai lukisan dari tangan-Nya. Sudah sangat jelas bukan? Tuhan tak pernah melukiskan dengan seni yang buruk. Jika terasa patah, penyebabnya bukan karena keburukan lukisan Tuhan, tetapi ekspektasi ciptaan diri sendiri yang lupa pada Sang Penentu. Suatu ekspektasi yang tanpa diimbangi kepasrahan hati.
Kepada jiwa-jiwa yang telah terbang bebas mengarungi langit, yang tak bisa memberi keseimbangan hingga menjadikan kedua sayapnya patah tertabrak rajutan harapan, mendaratlah dengan penuh renungan dan harap yang seimbang! Patah itu luka, luka yang sangat pedih. Dan, obatnya hanya satu, menyandarkan segalanya kepada pemilik sandaran. Sungguh, patah yang sesungguhnya adalah saat kasih Tuhan tak lagi mendekap pada diri kita.
Sekian langkah merenungi hidup, kita seringkali terlupa akan hakikat. Terlupa bahwa dunia yang digambarkan dengan penuh kefanaan, kita gambarkan ulang dengan penuh kekekalan. Mencintai segala yang dimiliki dengan menumpahkan segenap rasa hingga terlupa bahwa segalanya akan berubah bahkan hilang. Sudah sangat tidak asing di telinga, bahwa apa pun yang ada di dunia ini adalah fana. Tentunya, kecuali Sang pencipta segalanya. Maka, mari mengingat kebesaran-Nya.