Senin, 07 September 2020

Tipuan Ala Penulis

Ada baiknya tulisan ini dimulai dengan ucapan permohonan maaf. Pasalnya, tulisan ini adalah balasan atas tulisan teman yang sebelumnya dipost di blognya. Teman-teman bisa mengunjungi blog ini . Tulisannya sungguh melatih neuron-neuron otak bekerja lebih dari biasanya. Tulisan yang menyajikan banyak diskursus tapi ringan dibaca hingga menjadikannya tampak gagah. Dah, dijamin tulisannya renyah melebihi renyahnya rengginang. Hehe. Jadi, sangat bisa dirasakan seberapa njomplang-nya tulisan ini dengan tulisannya?

Oh, dear Nur Anis, my partner yang merasa ditipu penulis, apakah tipuan itu membuatmu kapok? Atau justru itu menjadi penyulut api untuk ke depannya? Masih terngiang-ngiang bagaimana marahnya kamu saat mengetahui ia membatalkan niatnya untuk ikut konferensi. Katamu, “Sial! Cacak njebak kita.” Hei, di waktu-waktu tertentu, penyulut itu penting. Tadi pagi, kompor di rumah rusak. Sekarang, mari menganalogikannya. Pada kompor yang bagian atomnya rusak, ia membutuhkan penyulut api agar bisa menyala menghasilkan api. Anggap saja, ada elemen dari diri kita yang rusak, entah mental, tekad atau pun keberanian. Dalam kondisi seperti ini, kita membutuhkan penyulut bukan? Penyulut agar berani mengeluarkan kemampuan yang selama ini tertumpuk oleh bobroknya mental, tekad juga keberanian.

Atas tipuan itulah, satu harapan sejak maba baru terealisasi di penghujung perkuliahan. Sejak maba, saya mencoba mencari partner untuk suatu project perlombaan, tapi tidak kunjung ada yang meng-iya-kan. Ya, mental lomba sudah tertanam sejak memasuki gerbang sekolah menengah. Dulu, yang selalu diikuti adalah perlombaan dalam bidang olimpiade matematika dan sebangsanya. Keluar dari bangku sekolah dan memasuki gerbang baru dengan jurusan yang -menurut saya- banting setir dari jurusan sebelumnya membuat saya kikuk dengan bidang perlombaannya. Pada akhirnya, mental itu pun pupus. Sungguh ironi.

Back to writer.

Sebelumnya sudahkah mengenal sosok penulis itu? Baik, akan saya kenalkan sedikit. Ia adalah Cak Lutfi. Entah bagaimana ceritanya panggilan legendaris ‘Cak’ itu disematkan di namanya. Ia, seorang penulis yang penuh dengan deadline. Untuk mengajaknya liburan saja, kami harus mencuri-curi waktunya. Oh, tentang on time? Bergurulah padanya. Tentang membaca-menulis, apalagi. Cak Lut adalah salah satu orang yang saya kenal yang berusaha hidup abnormal. Tapi, kemarin mengaku kalah dengan tingkah saya dan segelintir kawan. Heuheu, sekali lagi mohon maaf untuk hal itu.

Jika boleh sedikit mencurahkan, selama ini saya banyak belajar perihal menulis darinya. Tentang blog ini, misalnya. Pesan yang terus saya ingat -walau tak sepenuhnya dilakukan- adalah jangan sampai blog-nya mati, tak diisi tulisan. Saya juga masih mengingat perkataannya via Whatsapp saat saya melontarkan sebuah pertanyaan perihal teknik menulis esai. Ia mengatakan bahwa tulisan yang baik adalah tulisan yang memuat perangkat literar secara maksimal, kurang lebih mencakup 30 istilah. Saat itu, Cak Lut hanya menyebutkan beberapa saja, karena kurang nyaman jika harus ngobrol tentang teknis menulis secara online. Oke Cak, nanti saya tagih di lain waktu. Semoga masih diberi kesempatan untuk duduk bersama, menikmati sajian minuman (selain kopi, misalnya) dan lagu indie di warung kopi. Hehe