Senin, 18 Januari 2021

Lelakiku

Terima kasih atas luka yang engkau goreskan, terima kasih pula atas obat yang engkau berikan. Bagiku, engkau tetap lelakiku, lelaki yang memiliki citra tersendiri. Keras, tangguh, loman, acuh, dan banyak lagi. Kesemua karakter itu turut memberi sumbangsih hingga terbentuklah seorang lelaki yang selalu ada di angan. “Keras kepalaku sama denganmu, caraku marah, caraku tersenyum ...”, Begitu menyentuh lirik lagu Nadin Amizah yang related dengan duniaku.

Meski sempat membenci, aku tak ingin terjebak pada lubang keegoanku. Marahku saat itu hanya mampu mengguncang relungku. Tak mampu mengatakannya, apalagi mencaci dengan suara lantang. Sepahit apa yang dirasa?

Trauma yang pernah tercipta atas tingkahmu sempat membuat mentalku bobrok, bahkan dalam memandang kaum lelaki. Namun, seiring berjalannya waktu, seiring perjalanan hidup yang menuntun juga menuntut mendewasa, persepsiku atas lelaki dinilai salah oleh semesta. Bahwa, menggeneralisir sesuatu itu tidak selalu benar. Pun, terhadap laki-laki. Sekarang, ketika mendengar ucapan, “Semua lelaki sama saja.” Otakku dengan cukup cepat menanggapinya, “Tidak. Tidak seperti itu. Setiap orang mempunyai porsi dan karakter masing-masing. Ketika sama pun, itu tidak semua. Hanya sebagian saja.” Maka, ketika memasuki dunia perkuliahan, kutekadkan untuk mempunyai kawan laki-laki. Tetap dengan satu prinsip, tak pernah mencari, tak pernah ingin dikenal lebih atau bahkan menjadi diri orang lain. Mengalir saja bak air sungai, jika ada yang nyaman dengan karakterku, dengan caraku bergaul dan beretika, ya silahkan duduk bersinggah. Jika tidak, ya silahkan beranjak. Sekian masa bermuka dengan kawan laki-laki, trauma itu kujadikan sebagai tameng hidup dan sikap kehati-hatian. Entah, secara tidak langsung mereka turut menyembuhkan traumaku. Mereka cukup merepresentasikan kaum lelaki yang ‘baik’, tentu sesuai porsinya. Meski terkadang lelucon mereka tampak sangat bre**sek. But, I wanna say thank you very much for being ma friend. Thanks for your kindness. Kalian, selalu punya cara tersendiri dalam mengayomi kaum wanita.

Saat ini, kesemua rasaku padamu kali itu bertransformasi menjadi rasa yang baik-baik saja. Tentu, atas usahamu dalam menanggung salahmu. Juga atas ego yang berusaha kustabilkan. Saat ini pun, aku enggan menengok ke belakang, mesti pada saat-saat tertentu ingatan itu kembali mencuat. Tak ingin menjudge, karena itu bagian dari perjalanan hidupmu, bagian dari prosesmu mengenal dirimu yang sebenarnya dan kembali pada apa yang dulu pernah engkau cari. Segala nasihat baikmu-lah yang menuntutku untuk membuang segala prasangka. Tentang proses belajar, welas asih sampai pada cara merasakan hadirnya Tuhan.

Kemarin saat perjalanan ke Surabaya, tidak kutemukan uang receh di tas yang biasanya kusediakan khusus untuk pengamen. Tiba-tiba memoriku kembai mengingatmu, mengingat suatu kejadian. Bagaimana tidak? Saat itu, aku sedang menunggu bis arah Surabaya. Seketika, engkau memanggilku sembari membuka jok motor. Aku berjalan ke arahmu sambi senyum-senyum dengan suara batin, “Wah dikasih uang saku nih.” Tiba di depanmu. Engkau meyodorkan beberapa recehan uang dan berkata, “Digae wong amen.” Oh, ini gimana konsepnya? Uang saku anaknya tidak diingat, malah pengamen yang diingat. Tapi, bukan gitu konsepnya. Ada satu pesan implisit dari sikapnya, bahwa jangan lupa berbagi. Welas asih pada sesama. Ketika di posisi yang tidak punya apa-apa sekali pun, paling tidak welas itu ada. Di mana pun dan kapan pun.

Bagiku, semua orang memiliki masa lalu masing-masing. Dan, bukan berarti masa lalu itu menjadi satu-satunya patokan untuk menilai masa depan orang. Karenanya, terima kasih untuk segalanya. Terima kasih atas pelajaran yang telah engkau ajarkan. Keinginanku masih sama, ingin berbincang denganmu seperti kawan-kawan yang bisa menceritakan segala hal, ingin berbincang tanpa ada rasa canggung.

Big hug from your youngest children.