Jerih payah seseorang dalam mempertaruhkan hidup kerap menjadi kebanggaan yang siap dipamerkan di kala kesuksesan memihak kepadanya. Tentu saja demikian itu akan menjadi penilaian yang wajar, sebab jargon yang lama membumi bahwa usaha akan berbanding lurus dengan hasil. Yang menjadi buruk adalah adanya rasa bahwa dirinya-lah yang paling mencicipi pahitnya hidup, hingga terlupa jika di atas langit masih ada langit, begitu juga di bawah tanah masih ada tanah.
Saya rasa, setiap orang memiliki potensi mendewakan usahanya, entah dalam konteks kepada diri sendiri atau kepada orang lain, tapi tidak semua orang dapat mengontrolnya. Orang tua kita terbiasa menceritakan bagaimana jerih payahnya di masa lalu, maksud dan tujuannya pun beragam, salah duanya adalah agar bisa belajar dari masa lalu dan berjuang keras untuk hidup. Namun, cerita yang dibawakan dengan suara lantang dan otot menonjol di permukaan kulit, hanya akan menguras tenaga tanpa bisa sampai pada goal yang diharapkan.
Tadi pagi, saat saya mengantarkan ibu ke rumah kakak ipar untuk pijat, saya dihadapkan dengan seorang ibu-ibu yang terlihat masih muda, walau sudah mempunyai tiga anak. Ia adalah tetangga kakak ipar yang katanya masih ada hubungan darah dengannya. Ibu itu-lah yang akan memijat ibu saya. Ia kemudian dipersilahkan masuk ke kamar kakak yang tidak jauh dari ruang tamu, sementara ibu sudah menunggu di dalam. Selang beberapa menit, karena bosan di ruang tamu, saya menyusul masuk ke kamar. Saya berbaring dengan posisi ternyaman sambil memainkan ponsel, membalas beberapa chat yang telah masuk dan melihat beberapa story kawan.
Beberapa kali saya merasa ibu itu melihat ke arah saya, dan benar saja, saat saya berpura-pura fokus menatap layar, dalam hitungan ketiga, mata kami saling bertatapan. Entah apa yang ada di benaknya, namun sedari tadi ia terlihat ingin menyapa dan terlihat selalu menggagalkan mulutnya yang sempat terbuka, mungkin karena sikap diam saya yang cenderung dingin. Sebenarnya, otak saya bekerja aktif mencari cara dan materi untuk basa-basi dengannya, namun nihil hasilnya. Asumsi pendek saya adalah beliau sedang fokus memijat, jadi tidak perlu diajak bicara.
Lalu, kakak saya menyusul bergabung di kamar. Saya mendengar ibu itu berkata kepadanya, “Ibu samean kecapek-an.” Kakak menimpali dengan menceritakan sederet kesibukan ibu, mulai dari cuci piring, bantu anak laki-lakinya menyiapkan jualan, urus cucu hingga kesibukannya terjun ke sawah 2 tahun yang lalu.
Ibu itu tiba-tiba bercerita menggebu-nggebu sambil menatap saya, “Dulu aku menyelesaikan sekolahku dengan biaya sendiri, pulang sekolah langsung kerja di warung bakso. Setelah lulus, cari kerja buat diri sendiri sampai saat ini tetap kerja buat keluarga. Anak sekarang cuma bisa minta uang, minta paketan, main hape, kluyuran, tidak mau bantu pekerjaan rumah.” Ungkapan itu ditujukan kepada siapa kalau bukan kepada saya? Matanya dengan jelas menatap mata saya. Untung saja mental saya telah melampaui beberapa fase, termasuk bagaimana menghadapi cemooh orang asing. Ibu itu sedang membandingkan hidupnya yang dipenuhi perjuangan dengan hidup saya yang terlihat leha-leha tanpa perjuangan. “Haloooo! Tau apa anda tentang hidup saya?” Batin saya.
Dengan cepat, memori saya tiba di momen bagaimana dulu ketika duduk di bangku sekolah dasar, saya harus bantu cari rumput untuk pakan sapi dan kambing, bagaimana dulu harus mengorbankan outbound pramuka demi angon kambing, sampai di masa kuliah saya pun harus ngabdi, kerja juga ngajar privat demi bisa hidup tanpa banyak merepotkan orang tua. untuk pekerjaan rumah tidak perlu dihitung, karena sudah menjadi aktivitas yang istiqamah dilakukan setiap hari. Bagi saya, setiap orang menyimpan cerita perjuangannya masing-masing, dan belum tentu perjuangan kita berada jauh di atas perjuangan orang lain. Oh, rupanya percaya diri dan angkuh itu beda tipis.