Sabtu, 27 November 2021

Pendekar yang Tak Ulung

Sejak memasuki dunia perkuliahan, berada di circle pertemanan yang mayoritas laki-laki adalah hal biasa bagi saya. Meski tidak sepenuhnya mudah untuk dijalani, terutama ketika tidak ada satu pun kawan perempuan yang bisa diajak join di acara bareng mereka. Camping, misalnya. Belum lagi stigma buruk tentang diri saya; dianggap caper, bahkan dianggap mudah mendekati doi orang. Kadang marah, kadang juga sadar diri.


Saat ini, tampaknya Tuhan sedang mengamini doa konyol saya sewaktu duduk di bangku MA. Seperti dijerumuskan pada lubang yang lebih dalam, kondisinya jauh lebih kompleks dari sebelumnya. Saya berada di kelas yang semua personilnya adalah laki-laki, kecuali saya. Ya, saya perempuan sendirian. Sungguh, kondisi ini tidak pernah saya harapkan sebelumnya, bahkan tidak pernah terbesit sama sekali, apalagi di masa belajar yang penuh dengan sambat. Pascasarjana.


Tapi, melihat sepak terjang pertemanan saya yang sedari kecil tidak punya kawan laki-laki (read: kawan dekat), bahkan banyak tidak mengenali mereka, terutama di bangku MTs dan MA, ada hal yang patut saya syukuri. Tidak salah jika kawan saya mengatakan, “Tuhan selalu mempersiapkan diri kita untuk menuju titik selanjutnya.” Jika satu step itu tidak ada, bisa dipastikan kondisi saya jauh lebih terpuruk.


Saya rasa, keterpurukan yang saya alami saat ini bukan karena faktor personil, tetapi keberadaan saya sebagai seseorang yang tidak punya kredibilitas apa pun di tengah-tengah manusia berkompeten, berwawasan luas; mahir berdialektika, mahir menulis, mahir menganalisis. Saya sempat mempertanyakan keadaan tersebut kepada teman lama, “Kenapa sih laki-laki bisa sepintar itu?” Ia menjawab, “We are logic.” 


Saya memang belum pernah berada dalam kultur belajar yang sedemikian aktif, apalagi di kelas kecil. Dan di posisi itulah saya merasa membutuhkan kawan perempuan untuk sekedar berbagi keluh kesah, terutama diskusi terkait tugas kuliah. Meski kawan sekelas terhitung aktif membuka diskusi di luar jam kuliah, mereka tidak menerima keluh kesah dalam bentuk apa pun dengan dalih ‘tidak boleh manja’. Meski semakin bertambahnya hari, tugas semakin menumpuk dan mental semakin tidak karuan, saya harus kuat di hadapan mereka.


Namun, sejatinya kekuatan itu fana bagi jiwa yang telah diombang-ambing pikiran sendiri. Dalam kondisi yang benar-benar kalut, saya meminta bantuan kepada satu kawan yang saat ini statusnya menjadi kating saya untuk mencarikan kontak anak konsentrasi Hermeneutika yang perempuan. Selang beberapa menit, ia mengirim tiga nomor telepon dan dilanjutkan dengan mengirim capture chatnya dengan seorang kawannya. Ia menceritakan nasib saya di kelas.


“Oalah, pendekar tho ternyata.” Kata kawannya.


“Iya. Pendekar yang mundur duluan.” Kata saya kepadanya.


Tanpa pikir pajang, saya pun mengirimkan sapaan kepada ketiga nomor tersebut. Responnya pun bermacam-macam: yang satu wellcome banget, satu lagi cuek, dan satunya lagi slow response. Saya tersadar dan mempertayakan kegunaan atas tindakan saya pribadi yang secara praktis tidak ada untungnya sama sekali. Selain hanya mendapat informasi bahwa konsentrasi Hermeneutik minim peminat, terlebih dari kaum hawa. Masing-masing dari tiga orang tersebut, jumlah personil di kelas hanya empat orang, dua perempuan dan dua laki-laki. Imbang.


Tidak berhenti di situ. Lagi, saya menghubungi teman yang senasib, sama-sama berada dalam kelas kecil dengan jumlah personil tujuh orang, salah satu di antaranya perempuan. Lebih tepat untuk dikatakan bahwa nasib saya sama dengan nasib perempuan tersebut. Saya menanyakan seberapa responsifnya dia dibandingkan dengan teman-teman yang lain. Dan jawabannya hampir sama dengan bagaimana pola saya di kelas. Ia kemudian memberi motivasi, meski enggan disebut motivasi.


**

Tapi ini sharing aja, ya. Jadi gini, ayolah... kalo sampean masuk pasca X, apa yang sampean harapkan dari kelas yang gitu-gitu aja?


Rata-rata kultur itu nggak mendukung kita. Alih-alih, sebagian mareka gak mau ambil pusing buat bikin tugas dengan baik.


Kelak, mungkin mereka bakal berpikiran kalo mentok, tugas akhir bisa beli.

Apa yang kita harapkan dari kampus dengan wajah seperti ini:


Mahasiswa nggak suka belajar, malah selalu mikir salah jurusan, tugas akhir bisa dibeli, dan dijualbelikan, dosennya predator, dan kadang nggak kompeten.

**


Bak petir di siang bolong, perkataan tersebut benar-benar menampar diri saya. Hingga akhirnya, saya memverifikasi keterpurukan yang saya alami dengan sebuah pertanyaan: “Sebenarnya, merasa butuh teman perempuan itu tujuannya agar ada teman sambat atau hanya dalih untuk mencari rasa aman di kelas? Jika tujuannya hanya mencari rasa aman, di mana effort-mu untuk bangun dari zona nyaman, dari kultur belajar yang begitu-begitu saja? Bukankah selama ini teman-temanmu mayoritas juga laki-laki? And you enjoy with it. Kenapa sekarang mengeluh? Meski konteksnya beda, harusnya kamu juga mampu menjalaninya dengan baik.”


Dan untuk ke sekian kalinya, saya harus mengatakan bahwa saya mencintai perjalanan hidup saya. Hidup itu seni. Berada di situasi terpuruk kemudian bangkit dengan sendirinya atas tamparan realita dan kesadaran pikiran sendiri adalah seni hidup yang saya nikmati keberadaannya. Karena bangkit atas kesadaran diri sendiri memberi pengaruh jauh lebih besar untuk perbaikan diri.~