“Hidup berisi rajutan dilema, ...” Begitulah narasi yang seakan-akan mewakili bagaimana dilematisnya kehidupan yang saya hadapi beberapa bulan ke belakang.
Selepas masa studi berakhir, saya tidak bisa membayangkan
bagaimana kehidupan saya akan berlanjut, terutama jika memilih untuk pulang ke
rumah. Mungkin lebih tepatnya, saya tidak tahu kaki ini akan melangkah kemana
dan harus bagaimana. Oleh karena itu, saya memilih untuk bertahan di Jogja,
sembari menaruh harap agar tetap bisa stay di tempat yang slow living itu.
Sekalipun saat itu ada beberapa peluang di Surabaya yang pada akhirnya saya
lewatkan begitu saja, karena saya terjebak pada ketakutan yang saya ciptakan
sendiri. Merasa belum siap untuk terjun ke dunia akademik, jeda untuk rehat dan
mempersiapkan mental, juga kapasitas diri, adalah hal-hal yang membuat saya
stuck. Pada akhirnya, pintu yang terbuka lebar itu tertutup kembali, ketika
kaki tak kunjung berjalan memasukinya. Harapan pun sirna. Saya terlambat
mengajukan diri ke instansi yang selama ini saya idam-idamkan.
Karena belum ada kejelasan hidup, finansial mulai tidak
stabil, dan kecemasan yang sudah mengganggu pola tidur, dengan berat hati, saya
mumutuskan kembali ke rumah. Sesampainya di rumah, saya harus menelan trauma
masa lalu, yang sampai hari ini masih kerap menciptakan kebencian ke satu pihak.
Pelan-pelan, saya mencoba berdamai dengan memori-memori lama yang selama ini—baru
saya sadari—tidak pernah saya proses; menguburnya dengan memilih pergi dari
rumah. Belum lagi ditambah suara dua bocah yang tidak pernah absen. Nada tinggi
dan gemuruh riuhnya seisi rumah yang kerap membuat diri saya mengumpat dalam
diam, sembari menutup telinga sekuat mungkin.
Di sisi lain, saya bisa merekam kondisi keluarga yang belum
bisa dikatakan sejahtera. Ada banyak ketimpangan, jika dibandingkan dengan
kondisi saya di perantauan yang selalu dicukupkan oleh kedua orang tua,
ditambah lagi dengan penghasilan saya pribadi. Potret inilah yang memicu
semangat saya agar bisa segera mendapatkan kursi untuk bisa membantu finansial
keluarga. Belum lagi jiwa-jiwa berkelana yang tumbuh subur di dalam diri saya ini
telah meronta-ronta. Saya tidak bisa diam begitu saja, tanpa ada kegiatan yang
terstruktur, dan yang paling utama: tak menambah income. Suatu kondisi yang
pernah saya rasakan semasa Covid. Tetapi, waktu itu, dengan berbagai alasan,
saya memilih kembali ke Surabaya. Di usia yang tidak sedikit ini, saya tidak
bisa seegois waktu itu.
Dalam kondisi yang sangat menekan
itu, kabar CPNS berdatangan. Entah, dzauq apa yang datang ke diri saya yang
tiba-tiba mengarahkan ke Banten, selain formasinya yang banyak, hingga mampu
menggeser harapan besar saya, Surabaya. Pertimbangan besar waktu itu adalah
peluang yang besar agar saya segera mendapatkan kursi ada di Banten. Padahal, ada Malang yang formasinya juga banyak. Tetapi, sedari awal pilihannya hanya Banten dan Surabaya. Di otak
saya, Surabaya sulit untuk saya taklukkan, mengingat kompetensi saya yang
sangat minim. Pilihan yang dilematis ini sampai harus merepotkan beberapa
pihak. Tapi, siapa yang bisa menembus kepala batu manusia satu ini? Untuk itu,
saya mengucapkan terima kasih dan mohon maaf.
Rasa bersalah yang sangat
menghantui adalah keegoisan saya di hadapan orang tua, terutama ibu. Saya
menangis di depan ibu, hanya untuk memenangkan pilihan yang mungkin dianggap
demi merealisasikan cita-cita saya semata, dosen. Padahal, faktornya tidak
hanya posisi itu. Tapi, bagaimana saya bisa meraih keduanya. Cita-cita saya dan
membahagiakan mereka, yang saya sendiri tidak bisa memastikan jatah waktu untuk
mengabdikan diri kepadanya. Namun, beberapa hari sebelum submit pendaftaran,
saya menyadari keegoisan yang saya lakukan. Dan, saat itu juga, saya
menyerahkan diri untuk mengikuti harapan orang tua dan keluarga, yaitu memilih
tempat yang dekat.
“Surabaya mawon nggih, Bu.” Kata
saya dengan nada rendah.
Ibu segera menimpali, “Wes gapopo
Banten. Ibu ridho.”
Dari jawaban ibu itu, bukan tenang
yang saya dapatkan. Justru sebaliknya.
Di kondisi yang kalang kabut itu,
saya memilih menyiapkan dua surat lamaran (Banten dan Surabaya) yang kemudian ditandatangani
ayah saya. Ada keinginan besar untuk memilih Surabaya, tapi pikiran ini melesat
jauh ke depan, “Kalau nanti ga lolos di Surabaya, apa kata orang rumah?” Tak
mampu memilih Surabaya, tapi tak mampu meninggalkannya juga. Pada akhirnya, pilihan terakhir
pun jatuh di Banten. Namun, setelah meng-klik resume, penyesalan itu
bermunculan. Saat itu juga, saya memilih menutup telinga dari narasi apapun.
Usaha yang sia-sia bukan? Tetap saja narasi mereka sampai pada otak yang tak
pernah berhenti memikirkan hal-hal kecil nan tak pasti. Sungguh, pilihan yang
dilematis dan dramatis.
Sepengecut itu kah diri saya hingga tidak berani
memperjuangkan harapan besarnya sendiri? Iya. Bahkan, saat itu, sekuat apapun
Cacak memberikan pertimbangan untuk memilih Surabaya, sekuat itu pula saya
menolaknya. Aneh. Ya, inilah wujud belenggu insecurity yang mematikan
kepercayaan diri, salah satu sangu dari Jogja yang saya langgengkan
keberadaannya di diri saya. Payah. (Tapi, hari ini insecurity itu pelan-pelan
tergerus oleh kepercayaan diri kalau saya tidak bodoh-bodoh amat. Hehe)
Yang bisa saya langitkan selepas salat dan di kala kepala
berisik: “Ya Allah, jika memang hamba dinilai egois, keegoisan ini hamba
dedikasikan sepenuhnya untuk orang tua, untuk keluarga. Jika memang Banten
adalah tempat yang baik untuk sy bertumbuh, maka mudahkanlah. Jika tidak, maka
berikanlah jalan yang lebih baik dari itu.”
Ya, tetap menaruh harapan untuk Surabaya.
Kadang, saat benar-benar berada di titik terendah, saya
hanya mengucapkan: “Ya Allah, peluk saya.” Tanpa disertai bait-bait yang
dihaturkan, hanya ditemani air mata yang mengucur deras. Iya, secengeng itu
saya ketika CPNS-an.
Bahkan, hari-hari selepas pendaftaran sampai menuju tes SKB,
kepala ini rasanya mau pecah, karena dikejar-kejar berbagai pertanyaan yang
saya sendiri tidak mampu menjawabnya. Tentu, faktor asam lambung yang meningkat
menuju hari SKD bukan hanya karena telat makan. 80% adalah hasil memikirkan
Banten-Surabaya.
“Diseriusin nggak ya? Kalo lolos gimana? Pengen
memperjuangkan Surabaya, tapi apa Surabaya akan melirik aku kalo kali ini aku
gagal? Aku siapa dan punya apa berharap dilirik Surabaya? Kalo udah ada dosen
baru, apa Surabaya masih butuh dosen tambahan? Pun, kalo memilih berhenti demi
Surabaya yang tidak pasti itu, apa aku tidak menyesal? Kalo tidak Banten dan
Surabaya, aku akan kemana? UAC? Apa mampu menunggu entah sampai kapan? Apa
penyesalannya ga datang bertubi-tubi? Sanggup?”
Sialan. Pertanyaan-pertanyaan ini menghantui setiap saat. Saya bisa menghabiskan
waktu satu jam di kamar mandi hanya untuk memikirkan itu, bahkan lebih, sampai
ada suara dari luar yang membuyarkan lamunan panjang itu. Saya tenggelam dalam
lamunan itu, hingga menurunkan semangat belajar. Tapi, pada akhirnya, saya
memihak pada sesuatu yang telah jelas adanya, sesuatu yang di depan mata, dan
sesuatu yang telah saya pilih dengan kesadaran penuh. Saya harus bertanggung
jawab atas pilihan saya sendiri. Saya memilih untuk mempersiapkan segalanya
dengan baik, dan memasrahkan hasilnya kepada Sang Maha Penentu. Riil, saya
seperti zombie.
Hari-hari pasca SKB, kecemasan semakin meningkat. Tapi,
rasanya energi saya sudah terkuras habis untuk memikirkan ketidakpastian hidup
ini. Jadi, saya memilih untuk mengeksekusi ide-ide yang mangkrak karena waktu
yang tersita untuk belajar SKD dan SKB. Untungnya, ada agenda “Hilang Bentar”
yang menenggelamkan saya dalam tawa bahagia, sekalipun tak sepenuhnya
menghilangkan rasa cemas itu. Sialnya, agenda hari kedua itu tepat di hari
pengumuman. Walhasil, emosi diri jadi tak karuan. Untungnya lagi, ada Cacak
yang menemani. Meskipun orang itu cukup menyebalkan, sampai berhasil membuatku
banjir air mata.
Yah, hasilnya, kata orang-orang sesuai dengan perjuangan
saya selama ini. Memang benar, mati-matian hamba bergelut dengan soal-soal yang
entah apa tujuannya. Bergelut dengan suasana rumah yang sangat tidak ramah
dengan kondisi kepala yang butuh konsentrasi tinggi. Saya terus-terusan mencoba
bertahan dengan belajar dari kondisi Pak Zam—diriwayatkan oleh Cacak—yang tetap
bisa produktif di tengah-tengah kondisi gemuruh riuh semacam itu. Tentu,
kondisi saya tak seberapa, jika dibandingkan dengan kondisi beliau.
Ketika mendapatkan berita kelulusan saya, Cacak yang saya saksikan sendiri bagaimana senyumnya merekah pada malam itu, orang tua yang senangnya tidak karuan, Aziwal yang sampai bersimpuh di hadapan saya dan berkali-kali menyatakan keimanannya kepada saya (hahaha), Tijik, Fakhri, dan orang-orang yang mengungkapkan rasa bangganya, sedikit menyadarkan bahwa inilah jawaban yang terbaik untuk saya. Sekalipun harus menelan pil pahit, merelakan harapan-harapan yang saya rajut sendiri sedari dulu. Lama-lama, rasanya saya perlu merekognisi saran Aziwal, “Sudah saatnya sombong dan berbangga diri, puh.” Tapi, boro-boro sombong, bangga aja belum bisa.
Ketika dosen-dosen Surabaya mengucapkan selamat, penyesalan itu kembali bermunculan. Apalagi ketika ada satu berita: “Kalo dia nggak diterima, bisa kita panggil, Mas.”
Oh, Tuhan! Saya capek.
Rasanya melepas harapan besar itu memang tidak mudah, tapi saya selalu percaya bahwa di dunia ini akan selalu ada yang dipertaruhkan. Jadi, yaa, ada banyak penyesalan yang saya rasakan, tapi beginilah ujung cerita yang saya pilih. Tentu, ini semua belum berakhir.
Dan, sudah saatnya untuk meng-cut hal-hal toxic dalam diri. Mari memfokuskan diri ke tahap-tahap selanjutnya, yang saya yakini perjalannya juga tidak mudah. Hanya satu pilihannya, maju dan jalani sepenuh hati. Eh, dua ding.
Terima kasih kepada diri sendiri. Dan, kepada orang-orang yang rela membersamai.