Selasa, 31 Agustus 2021

Tingkah Seorang Bocah

Kebanyakan dari kita, terlebih anak-anak akan tertarik dengan hal-hal baru, termasuk orang baru di sekitar mereka. Rasa keingin tahuannya menyala ketika dihadapkan dengan orang yang baru mereka lihat, tatapannya tajam meskipun pada satu waktu mata mereka bertatapan, mereka tidak akan merasa canggung, mereka akan tetap melanjutkan kegiatannya, mungkin sampai rasa penasaranya terjawab.

Sudah pasti saya tidak nyaman dengan perlakuan anak-anak yang demikian. Karenanya, ketika sampai di pesantren, saya duduk di teras mushalla menjauhi kerumunan anak-anak, rutinitas baru selama 3 minggu belakang. Saya lebih suka menyendiri, mencari kenyamanan untuk diri saya sendiri. Meskipun, terkadang ada yang datang menghampiri saya hanya untuk bersalaman, atau bahkan ada yang memilih duduk di samping saya lalu menyodorkan pertanyaan basa-basi, seperti kejadian sore tadi dimana tiba-tiba ada seorang bocah seusia SD mondar-mandir di sekitar saya.

Ia berdiri di sisi kiri saya, lalu pergi dan kembali lagi dalam waktu kurang dari tiga menit dengan posisi berdiri di sisi kanan saya, kemudian berpindah ke depan saya. “Ini anak ngapain sih?” gerutu saya yang mulai terusik sambil mendongakkan kepala ke arahnya, ia terlihat membuka mulutnya seraya hendak mengatakan sesuatu, tetapi segera ia gagalkan dengan sebuah senyuman, lalu ia pergi lagi. Saya pun melanjutkan kegiatan yang sedari tadi kurang bisa fokus. Selang beberapa waktu, ada satu anak yang duduk di samping kiri saya, siapa lagi kalau bukan anak yang sedari tadi mondar-mandir di sekitar saya?

Dia tersenyum, dan saya terdiam dengan ekspresi heran. “Kenapa?” Tanya saya. Beberapa detik kemudian, saya menyesali pertanyaan itu, karena tidak seharusnya saya melontarkan pertanyaan tersebut.

“Tidak apa-apa. Mbak ke sini tiap hari ya?” Tanyanya dengan logat Jakarta.

“Iya, kamu dari mana?” tanya saya.

“Dari Bekasi, Mbak.” jawabnya dengan wajah datar.

“Kok jauh banget?” tanya saya heran, sebab santri di sana mayoritas adalah warga kampung Jombang.

“Iya, ada saudaraku di sini. Aku baru dua minggu di sini, Mbak.” Ungkapnya dengan wajah memelas, wajah-wajah pertama kali jauh dari keluarga. Saya kemudian teringat anak-anak di Ma’had yang sebelumnya saya huni.

Lalu terdengar adzan maghrib.

“Ada abangku di sini, Mbak.” Katanya sambil berdiri.

“Abangnya kelas berapa?” tanya saya sambil mendongakkan kepala.

“Ini dia yang lagi adzan.” Jawabnya dengan senyum merekah, kemudian berbalik badan dan melenggang pergi. Saya pun tersenyum menatap punggungnya hingga ia sampai di sajadah miliknya.

Sampai saat ini saya masih penasaran dengan tujuannya mendekati saya yang sedari tadi tampak ragu untuk memulai bertanya. Buruknya, saya tidak peka dengan kehadirannya yang mungkin sedang membutuhkan orang lain untuk sekedar berkeluh-kesah. Ini sering terjadi, hanya karena ketidak peka-an saya terhadap hal-hal yang tidak berhubungan dengan diri saya, lebih tepatnya saya tidak humanis terhadap kode. Cukup menyesali kenapa saya tidak menyapanya terlebih dahulu, dan lagi, ini soal kebiasaan buruk saya. Mungkin akan berbeda cerita ketika yang dihampiri anak itu adalah seseorang yang lebih peka dan mudah berinteraksi, seperti Maqbil, salah satu kawan saya.

Semoga besok takdir baik mempertemukan kami lagi untuk melanjutkan percakapan yang terhenti sebab adzan maghrib. Sialnya, saya tidak sepenuhnya hafal dengan wajahnya, apalagi belum saling menyebutkan nama.

Jumat, 27 Agustus 2021

Bertemu Titik Balik

Setiap dari kita akan bertemu dengan satu momen yang akan menjadi standar perjalanan hidup ke depan. Titik balik. Satu titik di mana seseorang disadarkan akan keberlanjutan hidup yang lebih berkualitas. Tentu saja kualitas itu ada ketika seseorang mampu bangkit dari terjangan gelombang besar, sebab rentetan peristiwa hidup yang memilukan. “Begitulah biasanya cerita tercipta--dengan sebuah titik balik, suatu perubahan terjadi tak terduga.” kata Murakami.

Malam itu, suasana cafe yang begitu hangat menjadi saksi atas perubahan mindset seseorang, yang artinya merubah kehidupannya dalam berbagai aspek. “Hidup terus berjalan, dan sekarang waktunya kita berjalan di jalan masing-masing.” ungkapnya di depan saya sembari menusukkan sedotan ke kemasan minumannya. Well, teman sedari kecil saya yang usianya dua tahun di bawah saya telah mengarungi lika-liku hidup, telah melewati beberapa realita dan telah merasakan jatuh-bangun hingga terbentuklah seseorang yang tumbuh mendewasa. Satu prioritas yang sedang ia gapai adalah kebebasan atas dirinya sendiri; kebebasan atas beban diri sendiri. Sejalan dengan dua pilar Ikigai bangsa Jepang; menikmati hidup dengan kondisi mengalir berprinsip dasar membebaskan diri dan menghadirkan diri di tempat dan waktu sekarang. Singkatnya, menjalani hidup sesuai apa yang ada di depan mata tanpa mengais imbalan juga pengakuan orang lain. Just let it flow!

Ada secercah rasa penerimaan yang menyelimuti dirinya, dan itu mengembalikan sisi positif yang belum lama ini hilang darinya. Tawa yang keluar tanpa beban, masalah yang diungkapkan tanpa dinding penghalang adalah ruang personal yang ditutup rapat di hadapan saya dalam beberapa waktu ini. Hal yang sangat wajar dilakukan  setiap orang ketika dirinya sedang dipenuhi berbagai gejolak. Menepi.

Setelah bangkit dari keterpurukannya, ia tidak lagi bercerita dengan nada merengek, bahkan tidak lagi mencurahkan kegelisahan dengan nada menggebu-nggebu seraya mempertahankan egonya mati-matian, ia memulai ceritanya dengan memberi sebuah informasi tentang keputusannya, tentang jalan yang sedang ia lalui dan tentang bagaimana ia ke depan. Dalam menyikapi idealisme misalnya, ia tampak bersikap lebih bijak dari sebelumnya dengan tidak memprioritaskannya dan memilih untuk menyesuaikannya dengan realitas.

Saya tertegun mendengarkan setiap kata yang keluar dari lisannya, bahkan setelah ia menyelesaikan ceritanya, tidak ada sudut pandang yang mampu saya lontarkan kepadanya. Saya sibuk menerawang diri saya sendiri, seraya bertanya, “Kamu apa kabar? Sejauh apa kamu berjalan?” Saya merutuki diri saya sendiri, dan dengan cepat saya memutus kinerja otak yang semakin tidak terkontrol. Saya memilih untuk menikmati alunan musik live on stage yang awalnya saya rasa sungguh berisik lalu menjadi asik. Dan ia sibuk melahap makanan yang telah ia beli, burger minimalis.

Sungguh, malam itu adalah perayaan atas kemenangan diri sendiri, kemenangan atas semua materi yang membebani pikirannya. Ia tiba di suatu titik balik, entah dirinya menyadari atau tidak. Tapi yang jelas, saya turut merasakan kebahagiaannya.