Kebanyakan dari kita, terlebih anak-anak akan tertarik dengan hal-hal baru, termasuk orang baru di sekitar mereka. Rasa keingin tahuannya menyala ketika dihadapkan dengan orang yang baru mereka lihat, tatapannya tajam meskipun pada satu waktu mata mereka bertatapan, mereka tidak akan merasa canggung, mereka akan tetap melanjutkan kegiatannya, mungkin sampai rasa penasaranya terjawab.
Sudah pasti saya tidak nyaman dengan perlakuan anak-anak yang demikian. Karenanya, ketika sampai di pesantren, saya duduk di teras mushalla menjauhi kerumunan anak-anak, rutinitas baru selama 3 minggu belakang. Saya lebih suka menyendiri, mencari kenyamanan untuk diri saya sendiri. Meskipun, terkadang ada yang datang menghampiri saya hanya untuk bersalaman, atau bahkan ada yang memilih duduk di samping saya lalu menyodorkan pertanyaan basa-basi, seperti kejadian sore tadi dimana tiba-tiba ada seorang bocah seusia SD mondar-mandir di sekitar saya.
Ia berdiri di sisi kiri saya, lalu pergi dan kembali lagi dalam waktu kurang dari tiga menit dengan posisi berdiri di sisi kanan saya, kemudian berpindah ke depan saya. “Ini anak ngapain sih?” gerutu saya yang mulai terusik sambil mendongakkan kepala ke arahnya, ia terlihat membuka mulutnya seraya hendak mengatakan sesuatu, tetapi segera ia gagalkan dengan sebuah senyuman, lalu ia pergi lagi. Saya pun melanjutkan kegiatan yang sedari tadi kurang bisa fokus. Selang beberapa waktu, ada satu anak yang duduk di samping kiri saya, siapa lagi kalau bukan anak yang sedari tadi mondar-mandir di sekitar saya?
Dia tersenyum, dan saya terdiam dengan ekspresi heran. “Kenapa?” Tanya saya. Beberapa detik kemudian, saya menyesali pertanyaan itu, karena tidak seharusnya saya melontarkan pertanyaan tersebut.
“Tidak apa-apa. Mbak ke sini tiap hari ya?” Tanyanya dengan logat Jakarta.
“Iya, kamu dari mana?” tanya saya.
“Dari Bekasi, Mbak.” jawabnya dengan wajah datar.
“Kok jauh banget?” tanya saya heran, sebab santri di sana mayoritas adalah warga kampung Jombang.
“Iya, ada saudaraku di sini. Aku baru dua minggu di sini, Mbak.” Ungkapnya dengan wajah memelas, wajah-wajah pertama kali jauh dari keluarga. Saya kemudian teringat anak-anak di Ma’had yang sebelumnya saya huni.
Lalu terdengar adzan maghrib.
“Ada abangku di sini, Mbak.” Katanya sambil berdiri.
“Abangnya kelas berapa?” tanya saya sambil mendongakkan kepala.
“Ini dia yang lagi adzan.” Jawabnya dengan senyum merekah, kemudian berbalik badan dan melenggang pergi. Saya pun tersenyum menatap punggungnya hingga ia sampai di sajadah miliknya.
Sampai saat ini saya masih penasaran dengan tujuannya mendekati saya yang sedari tadi tampak ragu untuk memulai bertanya. Buruknya, saya tidak peka dengan kehadirannya yang mungkin sedang membutuhkan orang lain untuk sekedar berkeluh-kesah. Ini sering terjadi, hanya karena ketidak peka-an saya terhadap hal-hal yang tidak berhubungan dengan diri saya, lebih tepatnya saya tidak humanis terhadap kode. Cukup menyesali kenapa saya tidak menyapanya terlebih dahulu, dan lagi, ini soal kebiasaan buruk saya. Mungkin akan berbeda cerita ketika yang dihampiri anak itu adalah seseorang yang lebih peka dan mudah berinteraksi, seperti Maqbil, salah satu kawan saya.
Semoga besok takdir baik mempertemukan kami lagi untuk melanjutkan percakapan yang terhenti sebab adzan maghrib. Sialnya, saya tidak sepenuhnya hafal dengan wajahnya, apalagi belum saling menyebutkan nama.