Sabtu, 03 Desember 2022

Anak-anak yang Bahagia dan Orang Dewasa yang Memilih Bahagia

Surat dari Cak Lutfi.

Video call barusan sebenarnya hanya untuk melihat bagaimana ekspresi sampean ketika menerima ucapan ulang tahun dan untuk mengingatkan bahwa sampean pernah mengirim doa baik untuk hari baikku--tetapi menyempal 20 hari, ialah 3 Juli 2021. Sebenarnya tidak masalah juga jika 3 Juli dianggap sama dengan 13 Juni. 

Sekarang mari kita berpura-pura bahwa 1 Desember sama dengan 11 November. Tidakkah kita impas? Itu telat sekitar 20 hari juga, atau 19. Beda tipis dan mari kita anggap sama juga.

Well, ini bukan soal balas dendam. Percayalah. Aku ingin membuat satu kelakar kecil bahwa kadang hal-hal konyol seperti ini perlu diperhitungkan sedemikian rupa--seolah kita makhluk yang tidak memiliki kesibukan lain sehingga detail kecil soal keterlambatan harus diperhitungkan juga. 

*

Rik, kita sudah bahas ini di waktu lalu: bahwa kadang orang dewasa yang iri pada kebahagiaan anak-anak itu konyol. Menurutku memang anak-anak kecil-kecil imut-imut itu bahagia, tetapi mereka tidak sadar bahwa mereka bahagia. Ah, bahkan mereka juga tidak sebahagia itu.

Mari kita ingat masa lalu kita. Sampean pernah tumbuh sebagai anak-anak dan, seperti anak-anak lain di seluruh dunia, sampean pernah menangis untuk hal-hal sepele. Misalnya, ada penjual es lewat dan sampean gagal mem-begal Pak Es dengan pertukaran rupiah.

Sampean merasa hal itu sebagai masalah yang perlu dilihat oleh seluruh orang dewasa di seluruh dunia. Betapa persoalan es bagi anak kecil menyembul keluar membentuk neraka.

Maksudku, bahkan anak-anak yang kita anggap bahagia memiliki masalah yang bagi mereka serius.

Oh, maaf, mungkin sampean nggak pernah nangis gara-gara es atau hal-hal sepele lain. Tapi aku pernah. Jadi sebenarnya itu hanya pengalamanku. Tapi mari kita jujur sejenak bahwa dulu sampean mungkin pernah punya masalah serupa.

Dan sekarang sampean sudah 25 tahun lebih 20 hari. Atau 19 hari? Tak masalah. Mari kita anggap 25 lebih 20 hari.

Itu usia yang membuat sampean nggak bakal nangis gara-gara es krim. Tapi mungkin sampean bisa nangis gara-gara tesis. Tidak masalah, memang begitu wajarnya mahasiswa S2. Sudah saatnya kita menangisi tesis, bukan skripsi.

Sampean masih ingat saat-saat sulit nulis skripsi? Wah... Momen sialan. Tetapi sekarang ada yang lebih sialan. Tesis. Nanti ketika sampean punya kesempatan lanjut S3, momen sialan itu berubah menjadi disertasi. Saat-saat itu, mungkin tesis tampak mungil.

Aku punya saran, Rik. Dan ini juga berlaku untuk aku sendiri. Dari pada nunggu nulis disertasi untuk mengerdilkan soal tesis, kenapa kita sekarang tidak macak nulis disertasi saja? Jadi soal tesis ini akan tampak sederhana sebagaimana skripsi kita dulu.

Aku sering macak begitu, sih. Dan itu membuat segala rintangan itu mudah. Karena aku punya keyakinan tesis bakal selesai, dan seluruh energi harus aku gunakan untuk menulis, buka untuk kesedihan yang di kemudian hari berujung sia-sia.

Bukankah kesedihan saat nulis skripsi itu sia-sia ketika sampean tahu bakal lulus dan kuncinya hanya keras kepala untuk maju.

Nah, aku dan sampean kesulitan mengatakan hal-hal seperti ini kepada anak-anak. Kita melihat mereka sebagai makhluk bahagia dan mereka kadang penuh kesedihan juga.

Kita makhluk yang penuh kesedihan juga, tetapi dengan pergeseran cara pandang, kita bisa menyadari bahwa anak-anak tidak sadar bahwa mereka bahagia. Sedangkan kita bisa sadar bahwa kita bahagia. Bahkan kita bisa merasa senang saat menghadapi rintangan, dengan cara macak naik kelas lebih dulu.

Betapa kadang menjadi dewasa itu menyenangkan. Kita bisa memilih banyak hal--yang mustahil dilakukan anak-anak. Jadi, selamat berbahagia menjadi dewasa.

Yah. Akhirnya, sampean boleh menangis dan menyerahkan menghadapi tesis. Dan sampean juga bisa keras kepala untuk terus maju. Kalo poin kedua yang sampean pilih, mari, bakar apinya.

*

Surat ini akhirnya ditulis juga. Ditulis dalam kondisi bahagia dan dengan tempo sesingkat-singkatnya, dalam momen setepat-tepatnya. 

Kadang aku haru sedikit sombong, bahwa di seluruh dunia ini, nyari kawan kayak aku ini ya gampang-gampang susah. Atau mustahil sih, lha wong cuma ada satu biji. Itu artinya nyari kawan seperti sampean juga susah. Dan silakan sombong juga. Dan yang di atas kesombongan itu, ada kebanggaan yang harus dijaga, ialah pertemanan itu sendiri.

Sekali lagi, selamat berbahagia. Kalo sedang bersedih, tolong setidaknya berbahagialah membaca kalimat terakhir ini.

Jumat, 16 September 2022

Belajar itu Sulit!

Jika kemarin yang saya gembor-gemborkan adalah pernyataan bahwa menulis itu sulit, hari ini tidak. Saya berani mengatakan bahwa tidak hanya menulis yang sulit, tetapi belajar itu sulit, dalam konteks apapun. Entah belajar menulis, membaca, mendewasa, berbicara, berdiskusi, berdebat, mengungkapkan, mendengarkan, termasuk mengendalikan diri, semua sulit. Semua harus dilakukan dengan berdarah-darah.

Namun sayangnya, semua itu baru saya sadari setelah terjerumus pada kubangan yang telah saya gali sendiri. Terlambat? Saya kira iya, sebab selama ini saya terlalu sibuk menanggung dunia yang saya bentuk berdasarkan ideal-ideal saya pribadi tanpa peduli pada kekuatan tak sadar yang telah menginjak-injak diri saya. Idealis yang tak berdasar, menjadi manusia yang ‘sok’ belajar, padahal tidak memahami esensi belajar itu sendiri. Lalu apa gunanya rasio yang telah dianugerahkan Tuhan kepada manusia?

Saya yakin, mata dan telinga kita tidak asing dengan julukan manusia sebagai hewan yang rasional. Tapi apakah itu menjamin jika kita (terutama saya pribadi) menggunakan rasio dengan penuh kesadaran dalam bertindak (tentu tidak mengesampingkan peran rasa), terutama dalam belajar? Baru-baru ini, saya menemukan satu pertanyaan yang cukup menampar di dalam buku Bertrand Russell. “Jika kita gagal menjadi rasional, harapan apa yang tersisa untuk kita?”

Hari-hari ini, saya dihadapkan dengan orang-orang yang kritis memaknai berbagai hal. Tidak hanya dalam konteks akademik, tetapi dalam berkehidupan yang—kita semua mengetahui—dipenuhi hal-hal manipulatif, dan tentunya dengan manusia-manusia yang super brengsek. Tidak untuk mengatakan bahwa semua manusia brengsek, tetapi dalam konotasi interaksi sesama yang hanya berasaskan kepentingan belaka, tanpa melibatkan ketulusan.

Dalam case membangun hubungan sosial, kita membutuhkan pembacaan yang kritis terhadap perilaku sesama dalam rangka saling memahami dan menghargai. Di sini pun perlu belajar untuk membaca sebuah perilaku seseorang yang tidak hanya dari permukaannya saja, tetapi juga pada wilayah underground-nya. Untuk bisa sampai di titik inipun diperlukan pembacaan yang mendalam, dan jika kita belajar antropologi, kita akan mengenal sebutan thick description. Lagi, ini tidak mudah. Butuh jam terbang tinggi untuk tidak berhenti di satu asumsi saja.

Pada kesempatan ini, saya pun dipaksa untuk melakukan hal yang sama. Membaca, menganalisis, mengkritisi; tidak hanya sekedar mengafirmasi tanpa adanya pemikiran kritis, sekalipun terhadap sesuatu yang telah mapan. Apakah semua itu mudah? Tidak. Apalagi bagi saya yang selama ini tidak mengasah daya kritis; berdiam diri di zona nyaman, dengan culture belajar yang datar dan lempeng.

Liburan kali ini pun saya harus berdarah-darah dalam memahami teks yang saya baca. Membaca dengan penuh keseriusan dan kesadaran untuk menggunakan rasio ternyata tidaklah mudah. Jika dikategorikan pada tahapan pemahaman, apa yang saya lakukan masih di tataran pemahaman pasif, belum mencapai pemahaman kritis, apalagi kreatif. Saya terheran-heran, bahkan seringkali menggelengkan kepala ketika membaca tulisan Prof. Mun’im Sirry yang selalu menyodorkan pertanyaan kritis untuk menutup statement yang sedari awal menampakkan afirmasinya terhadap suatu paradigma. “Gilak!” umpat saya setiap kali bertemu dengan tanda titik di tulisan beliau. Salam sungkem, Prof. Menyesal sekali kenapa baru membaca tulisan njenengan.

Disadari atau tidak, untuk bisa sampai pada pemahaman kritis dan kreatif dibutuhkan jam terbang. Tentunya, jam terbang juga dipengaruhi oleh banyak modal, salah satunya pengetahuan yang melimpah dan yang paling utama nalar kritis yang terkonstruk dengan baik. Pada akhirnya, apa yang diunggulkan jika bukan proses belajar itu sendiri? Saya pun sampai di satu kesimpulan bahwa hidup itu harus disadari agar terkonstruk pola pikir yang jernih. Sepertinya, hal ini sangat relevan dengan perkataan dosen saya di semester 1, bahwa kita memerlukan cara berpikir yang metodologis, agar output—bisa berupa tindakan—bernilai positif.