Jika kemarin yang saya gembor-gemborkan adalah pernyataan bahwa menulis itu sulit, hari ini tidak. Saya berani mengatakan bahwa tidak hanya menulis yang sulit, tetapi belajar itu sulit, dalam konteks apapun. Entah belajar menulis, membaca, mendewasa, berbicara, berdiskusi, berdebat, mengungkapkan, mendengarkan, termasuk mengendalikan diri, semua sulit. Semua harus dilakukan dengan berdarah-darah.
Namun sayangnya, semua itu baru saya sadari setelah terjerumus pada kubangan yang telah saya gali sendiri. Terlambat? Saya kira iya, sebab selama ini saya terlalu sibuk menanggung dunia yang saya bentuk berdasarkan ideal-ideal saya pribadi tanpa peduli pada kekuatan tak sadar yang telah menginjak-injak diri saya. Idealis yang tak berdasar, menjadi manusia yang ‘sok’ belajar, padahal tidak memahami esensi belajar itu sendiri. Lalu apa gunanya rasio yang telah dianugerahkan Tuhan kepada manusia?
Saya yakin, mata dan telinga kita tidak
asing dengan julukan manusia sebagai hewan yang rasional. Tapi apakah itu
menjamin jika kita (terutama saya pribadi) menggunakan rasio dengan penuh
kesadaran dalam bertindak (tentu tidak mengesampingkan peran rasa), terutama
dalam belajar? Baru-baru ini, saya menemukan satu pertanyaan yang cukup menampar
di dalam buku Bertrand Russell. “Jika kita gagal menjadi rasional, harapan
apa yang tersisa untuk kita?”
Hari-hari ini, saya dihadapkan
dengan orang-orang yang kritis memaknai berbagai hal. Tidak hanya dalam konteks
akademik, tetapi dalam berkehidupan yang—kita semua mengetahui—dipenuhi hal-hal
manipulatif, dan tentunya dengan manusia-manusia yang super brengsek.
Tidak untuk mengatakan bahwa semua manusia brengsek, tetapi dalam
konotasi interaksi sesama yang hanya berasaskan kepentingan belaka, tanpa
melibatkan ketulusan.
Dalam case membangun hubungan
sosial, kita membutuhkan pembacaan yang kritis terhadap perilaku sesama dalam
rangka saling memahami dan menghargai. Di sini pun perlu belajar untuk membaca
sebuah perilaku seseorang yang tidak hanya dari permukaannya saja, tetapi juga pada
wilayah underground-nya. Untuk bisa sampai di titik inipun diperlukan
pembacaan yang mendalam, dan jika kita belajar antropologi, kita akan mengenal
sebutan thick description. Lagi, ini tidak mudah. Butuh jam terbang
tinggi untuk tidak berhenti di satu asumsi saja.
Pada kesempatan ini, saya pun
dipaksa untuk melakukan hal yang sama. Membaca, menganalisis, mengkritisi;
tidak hanya sekedar mengafirmasi tanpa adanya pemikiran kritis, sekalipun
terhadap sesuatu yang telah mapan. Apakah semua itu mudah? Tidak. Apalagi bagi
saya yang selama ini tidak mengasah daya kritis; berdiam diri di zona nyaman,
dengan culture belajar yang datar dan lempeng.
Liburan kali ini pun saya harus
berdarah-darah dalam memahami teks yang saya baca. Membaca dengan penuh
keseriusan dan kesadaran untuk menggunakan rasio ternyata tidaklah mudah. Jika dikategorikan
pada tahapan pemahaman, apa yang saya lakukan masih di tataran pemahaman pasif,
belum mencapai pemahaman kritis, apalagi kreatif. Saya terheran-heran, bahkan seringkali
menggelengkan kepala ketika membaca tulisan Prof. Mun’im Sirry yang selalu
menyodorkan pertanyaan kritis untuk menutup statement yang sedari awal menampakkan
afirmasinya terhadap suatu paradigma. “Gilak!” umpat saya setiap kali
bertemu dengan tanda titik di tulisan beliau. Salam sungkem, Prof. Menyesal sekali
kenapa baru membaca tulisan njenengan.
Disadari atau tidak, untuk bisa
sampai pada pemahaman kritis dan kreatif dibutuhkan jam terbang. Tentunya, jam
terbang juga dipengaruhi oleh banyak modal, salah satunya pengetahuan yang
melimpah dan yang paling utama nalar kritis yang terkonstruk dengan baik. Pada
akhirnya, apa yang diunggulkan jika bukan proses belajar itu sendiri? Saya pun
sampai di satu kesimpulan bahwa hidup itu harus disadari agar terkonstruk pola
pikir yang jernih. Sepertinya, hal ini sangat relevan dengan perkataan dosen saya
di semester 1, bahwa kita memerlukan cara berpikir yang metodologis, agar output—bisa
berupa tindakan—bernilai positif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar