Jumat, 16 September 2022

Belajar itu Sulit!

Jika kemarin yang saya gembor-gemborkan adalah pernyataan bahwa menulis itu sulit, hari ini tidak. Saya berani mengatakan bahwa tidak hanya menulis yang sulit, tetapi belajar itu sulit, dalam konteks apapun. Entah belajar menulis, membaca, mendewasa, berbicara, berdiskusi, berdebat, mengungkapkan, mendengarkan, termasuk mengendalikan diri, semua sulit. Semua harus dilakukan dengan berdarah-darah.

Namun sayangnya, semua itu baru saya sadari setelah terjerumus pada kubangan yang telah saya gali sendiri. Terlambat? Saya kira iya, sebab selama ini saya terlalu sibuk menanggung dunia yang saya bentuk berdasarkan ideal-ideal saya pribadi tanpa peduli pada kekuatan tak sadar yang telah menginjak-injak diri saya. Idealis yang tak berdasar, menjadi manusia yang ‘sok’ belajar, padahal tidak memahami esensi belajar itu sendiri. Lalu apa gunanya rasio yang telah dianugerahkan Tuhan kepada manusia?

Saya yakin, mata dan telinga kita tidak asing dengan julukan manusia sebagai hewan yang rasional. Tapi apakah itu menjamin jika kita (terutama saya pribadi) menggunakan rasio dengan penuh kesadaran dalam bertindak (tentu tidak mengesampingkan peran rasa), terutama dalam belajar? Baru-baru ini, saya menemukan satu pertanyaan yang cukup menampar di dalam buku Bertrand Russell. “Jika kita gagal menjadi rasional, harapan apa yang tersisa untuk kita?”

Hari-hari ini, saya dihadapkan dengan orang-orang yang kritis memaknai berbagai hal. Tidak hanya dalam konteks akademik, tetapi dalam berkehidupan yang—kita semua mengetahui—dipenuhi hal-hal manipulatif, dan tentunya dengan manusia-manusia yang super brengsek. Tidak untuk mengatakan bahwa semua manusia brengsek, tetapi dalam konotasi interaksi sesama yang hanya berasaskan kepentingan belaka, tanpa melibatkan ketulusan.

Dalam case membangun hubungan sosial, kita membutuhkan pembacaan yang kritis terhadap perilaku sesama dalam rangka saling memahami dan menghargai. Di sini pun perlu belajar untuk membaca sebuah perilaku seseorang yang tidak hanya dari permukaannya saja, tetapi juga pada wilayah underground-nya. Untuk bisa sampai di titik inipun diperlukan pembacaan yang mendalam, dan jika kita belajar antropologi, kita akan mengenal sebutan thick description. Lagi, ini tidak mudah. Butuh jam terbang tinggi untuk tidak berhenti di satu asumsi saja.

Pada kesempatan ini, saya pun dipaksa untuk melakukan hal yang sama. Membaca, menganalisis, mengkritisi; tidak hanya sekedar mengafirmasi tanpa adanya pemikiran kritis, sekalipun terhadap sesuatu yang telah mapan. Apakah semua itu mudah? Tidak. Apalagi bagi saya yang selama ini tidak mengasah daya kritis; berdiam diri di zona nyaman, dengan culture belajar yang datar dan lempeng.

Liburan kali ini pun saya harus berdarah-darah dalam memahami teks yang saya baca. Membaca dengan penuh keseriusan dan kesadaran untuk menggunakan rasio ternyata tidaklah mudah. Jika dikategorikan pada tahapan pemahaman, apa yang saya lakukan masih di tataran pemahaman pasif, belum mencapai pemahaman kritis, apalagi kreatif. Saya terheran-heran, bahkan seringkali menggelengkan kepala ketika membaca tulisan Prof. Mun’im Sirry yang selalu menyodorkan pertanyaan kritis untuk menutup statement yang sedari awal menampakkan afirmasinya terhadap suatu paradigma. “Gilak!” umpat saya setiap kali bertemu dengan tanda titik di tulisan beliau. Salam sungkem, Prof. Menyesal sekali kenapa baru membaca tulisan njenengan.

Disadari atau tidak, untuk bisa sampai pada pemahaman kritis dan kreatif dibutuhkan jam terbang. Tentunya, jam terbang juga dipengaruhi oleh banyak modal, salah satunya pengetahuan yang melimpah dan yang paling utama nalar kritis yang terkonstruk dengan baik. Pada akhirnya, apa yang diunggulkan jika bukan proses belajar itu sendiri? Saya pun sampai di satu kesimpulan bahwa hidup itu harus disadari agar terkonstruk pola pikir yang jernih. Sepertinya, hal ini sangat relevan dengan perkataan dosen saya di semester 1, bahwa kita memerlukan cara berpikir yang metodologis, agar output—bisa berupa tindakan—bernilai positif.