Kamis, 09 April 2020

Hangatnya Malam dalam Dekapan Renungan


Malam adalah waktu yang tepat untuk merenung. Di bawah manisnya cahaya bulan dengan gemerlapnya bintang atau pun dalam gelapnya ruangan menjelang mata terpejam. Dalam kondisi yang tenang, pikiran akan dengan mudah berkelana tanpa batas. Termasuk terhadap sejatinya hidup dan apa yang dicari. Merenung, ya. Suatu upaya untuk menyelami diri tanpa harus merepotkan yang lain. Berasa sedang berada pada sesi paling jujur terhadap diri sendiri.

Substansi otak manusia semakin kompleks seiring bertambahnya usia. Semakin dewasa, segalanya berasa semakin tidak teratur, karena keteraturan itu sudah berhenti seiring habisnya tradisi. Ya, tradisi tak akan sepenuhnya menjadi alur hidup. Meminjam perkataan Gie, “Hidup adalah soal keberanian, menghadapi tanda tanya, tanpa kita mengerti-tanpa kita menawar. Terima dan hadapi!” Tanda tanya, it’s mean takdir masa depan? 

Tak ada yang tau perihal takdir, pun dalam perjalanan menuju takdir. Karena takdir adalah sesuatu yang telah digapai, maka akan ada proses untuk mencapainya. Tak jarang, orang menyebut hidup adalah perjalanan. Semestinya dalam perjalanan, akan ada yang ditinggalkan juga meninggalkan. Esensi hidup adalah berjalan menembus ruang dan waktu. Dalam berjalan, mustahil tidak memunculkan ekspektasi -perihal apa pun- yang kerap kali tidak sesuai dengan realita. Inilah yang akan membawa dampak besar dalam hidup. Ekspektasi yang tidak sesuai dengan realita, ada yang menyebutnya masalah. Dan masalah inilah yang akan menjadi sumber pembelajaran manusia.

Sejak problem internal rumah, aku mematok ekspektasi tinggi terhadap hidupku. Perihal ruang berpulang, khususnya. Pasalnya, sekian lama menjadi manusia tertutup, menikmati kesendirian dengan lamunan panjang. Seberat apa pun bebannya, tetap akan menjadi konsumsi pribadi dengan penyelaman dalam yang pada akhirnya akan meletus menjadi bom waktu. Dan yang paling utama adalah ruang menyendiri yang pasti untuk mengobati luka diri dan recharge energi.

Sungguh naif, jika harus mengatakan tidak butuh orang lain dalam hidup. Sungguh naif, jika harus mengatakan mampu hidup sendiri. Meskipun banyak juga yang tidak mampu dengan keadaan sosial yang sangat kompleks, dan di posisi itu-lah aku berdiri. Maka, seseorang pernah berkata kepadaku, “Carilah kawan yang benar-benar kamu percayai untuk menuangkan keluh kesah -walau porsi teman bukan untuk tempat mengeluh! Kamu butuh orang lain sebagai problem solving yang objektif.” Sejak itu, usaha membuka diri terus berjalan. Tak gampang untuk menemukan kawan sesuai patokan ekspektasi. Tipikal demikian memiliki batas limit dalam berkawan. Bukan tidak bisa bersosial, hanya membatasi orang yang masuk dalam hidupnya. Sekian lama, kawan itu datang dengan penuh kenyamanan. Tanpa pikir panjang, semua tulus kutuangkan melebihi kadar diri sendiri. Hingga terlupa akan satu hal, bahwa semua akan berubah. Ya, semua memiliki dinamika yang akan bergerak terus menerus. Tak mungkin akan sama, tak mungkin akan sepenuhnya dimiliki. Semua berubah, ingat! Semua berubah. Maka, kesiapan hati-lah yang diharuskan adanya. Karenanya aku benci sesuatu yang dadakan, sesuatu yang tak berjarak.

Dan, aku tersadar. Menjelang mata terpejam, aku memantapkan bahwa tak perlu ekspektasi muluk-muluk, menyendiri adalah satu hal lain, dan utamakan diri sendiri. Ketahuilah, orang lain juga memiliki diri sendiri yang menuntut untuk diperhatikan. Maka, saling memahami adalah kuncinya.

Ah, I think I should to sleep. Waktu yang dengan sendirinya akan menjawab keresahan ini. Maka, berjalanlah dengan pembelajaran yang telah ada.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar