Selasa, 14 April 2020

Ruang Harmonis dari Si Covid-19


Terimakasih (bebas dibaca dengan nada apa pun), satu kata untuk 2020. Bukankah yang telah berlalu adalah bagian dari garis Tuhan dengan segenap kebaikan-kebaikan-Nya? Kalau pun yang telah berlalu penuh dengan ujian, pasti ada hikmah yang diselipkan. Well, di balik suatu ujian akan menyisahkan kebaikan bagi pelakunya. “Cukup dijalani dengan penuh kesabaran dan ikhtiar untuk kebaikan”, begitulah wejangan kaum agamis yang turut dipercayai.

Sejak beberapa bulan yang lalu hingga saat ini, virus corona datang menyumbangkan banyak derita, perihal sosial, ekonomi, kesehatan juga politik. Ya, sebuah virus yang datang tanpa undangan khusus dengan sekejap merubah segala tatanan yang telah ada. Segala keangkuhan penduduk bumi -I mean human-  dihentikan dengan sekejap oleh yang Maha mengatur. Ia membawa manusia pada momen penuh kesadaran diri, momen memandang diri atas apa yang diperbuat. Tak sepenuhnya ia membawa kenegatifan seperti cacian dan amarah yang terus menyalahkannya. Meskipun tidak bisa dinafikan, betapa banyak dampak yang ia sumbangkan. Tapi bukankah segalanya harus dipandang secara seimbang dari berbagai sudut?

Covid-19, namamu kian semerbak di telinga
Tak semenit pun lisan melewatkanmu
Kau dibenci masyarakat sedunia
Namun bumi harmonis karenamu

Bagiku, salah satu derita terbesar adalah pulang dalam jangka waktu yang cukup panjang sebelum waktu yang telah ditetapkan. Mental belum disiapkan sepenuhnya menjadi pemicu utama adanya sebuah derita. Pasalnya, semenjak meninggalkan rumah untuk mencari ilmu, kepekaan serta perhatian terhadap rumah se-isinya kian memudar. Bahkan, whatever dengan kabar rumah. Cukup rumit jika harus menjelaskan alasan atas sikap ini. Satu hal, ini adalah sikap yang secara tidak sadar diberikan. Tak pernah terbesit untuk memilih sikap yang salah. Dari awal hanya berniat untuk lari dari keruwetan rumah dan berusaha mengubur trauma yang telah ada. Di tempat rantau, aku berdiri di atas jati diriku hingga menemukan kenyamanan yang luar biasa. Tak sepenuhnya mulus, banyak liku yang mengajarkan segala hal. Tentang kedewasaan, penyadaran diri juga kerelaan.

Hampir empat tahun merasakan suka duka hidup di luar rumah tanpa bisa mengadu ke keluarga. Ruang pribadi menghalangi mental juga lisan untuk berkisah, walhasil hanya menyelami diri sendiri yang tak jarang orang sekitar harus menjadi korban. “Dasar manusia intro!”, sahutku ketika sulit menceritakan masalah dan overthinking mulai menjarah.

Sekian hari di rumah, aku marah pada hal yang tak pantas disalahkan. Aku marah tanpa suara, namun batin menjerit. Bukankah kufur nikmat namanya jika harus terus-terus-an mengeluh bahkan menyalahkan keadaan? Setelah sekian tahun meredam diri sendiri, kesadaran itu muncul seiring bertambahnya umur juga kedewasaan. Pengalaman kelam memang menyisahkan trauma panjang. Namun, tak seharusnya pengalaman itu menjadi momok kehidupan. Ia dapat bermanuver menjadi pelajaran hidup untuk banyak kebaikan. Sebuah pelajaran yang dapat mengantarkan pada kedewasaan bersikap juga berfikir.

Jika Jacobsen harus mencari sisi keharmonisan sebuah keluarga melalui memorial pemakaman seseorang -dikenal maupun tidak- karena hanya hidup dengan boneka tangannya tanpa saudara maupun teman, apa manusia yang diberi kesempurnaan keluarga tidak bisa mensyukurinya? Jacobsen harus membual demi aksinya berjalan mulus tanpa dicurigai pihak keluarga almarhum karena ketiadaan hubungan kekeluargaan ataupun pertemanan dengan mendiang almarhum yang dihadiri. Sejenak ku renungi dari fenomena mewabahnya virus ini, bahwa keluarga adalah inti hidup. Jika atmosfer keluarga tidak tercipta dengan baik, semua atmosfer juga akan rusak. Maka, Tuhan memberikan momen ini untuk kembali bersua dan merajut harmonisasi dengan keluarga. Apa pun masalahnya, tak patut mengabaikannya bahkan melupakannya. Sebesar apa pun masalahnya, tempat terbaik untuk berlabuh adalah keluarga. Just keep in touch with family. Nyatanya berpaling dari urusan rumah dengan mencari kawan sepemahaman dan menganggapnya lebih dari keluarga tak sepenuhnya menjadi solusi tepat. Ini hanyalah soal kedewasaan berfikir juga bersikap.

Sekian minggu di rumah, aku bisa membaca alur yang diharapkan keluargaku. Segala macam masalah yang selama ini tak terdengar di telinga, kini mulai ku pahami satu persatu. Hingga sebuah pertanyaan melayang pada diriku sendiri, "Ke manakah dirimu selama ini?" Oke, tak baik berlama-lama menyalahkan diri sendiri. Sekarang, ku nikmati genggaman kasih sayang dari kedua orang tua juga saudara. Ku nikmati sisi anak bungsu yang kadang kala dimanja. Dan, mulai ku nikmati apa yang mereka inginkan tentang masa depanku. Syukur ku ucapkan tiada tara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar