Untuk Nurhayati Masyhudd
Selamat merayakan gelar baru yang kamu upayakan selama empat tahun ke belakang ya. Selamat menjadi Nuy yang baru; Nuy yang dilingkupi dengan banyak pengalaman. Nuy yang telah berhasil menempuh perjalanan penuh lika-liku, yang aku sendiri selalu yakin bahwa kamu akan melaluinya dengan sangat baik, bahkan jauh dari apa yang kamu bayangkan.
Sekarang, persilakan kapalmu untuk bersandar sejenak, sebelum ia kembali berlayar.
Sekali lagi, selamat merayakan selempang kuning ya!
***
Nuy, yang aku tahu, kamu adalah sosok yang selalu memiliki mekanisme sendiri dalam menghadapi dunia dengan segala kompleksitasnya. Mau bilang kejam, takut itu hanya antagonisme kita aja dalam menghayati cara kerja dunia. Padahal ya memang dunia ini isinya sangat beragam, tidak hanya manusia, tetapi juga makhluk lainnya. Satu makhluk hidup yang disebut manusia aja digambarkan sebagai makhluk dinamis, misterius, dan paradoksal. Bagaimana tidak kompleks? Ya, kita bebas memaknainya sebagai kekejaman, ataupun sebaliknya.
Ah, itu hanyalah omong kosong. Yang terpenting, aku selalu salut dengan independensimu di hadapan siapapun. Aku selalu salut dengan beragam perspektifmu dalam melihat sesuatu, yang mungkin sudah mulai jarang kutemukan di orang lain, di usia-usia sepertimu. Kamu itu punya pemikiran yang logis, meski terkadang masih suka kemakan asumsinya sendiri.
Aku selalu bangga dengan segala pencapaianmu, terlebih pada upayamu dalam menghadapi rasa takutmu sendiri. Kamu yang selalu penasaran dengan rasa takut itu. Ya, kadang memang kita hanya butuh keberanian untuk melangkah, tanpa banyak berpikir. Kadang kita juga hanya perlu menjadi pilot yang selalu siap menghadapi segala macam cuaca. Kadang kita juga tidak perlu menjawab semua pertanyaan yang kita layangkan ke diri sendiri. Mungkin kita bisa belajar dari perkataan Soe Hok Gie, bahwa hidup adalah soal keberanian, menghadapi tanda tanya, tanpa kita mengerti, tanpa kita menawar. Terima dan hadapi!
Yaahhh.. tak ada yang lebih mudah daripada menulis kata-kata bijak bukan?
***
Nuy, ternyata ada banyak hal yang harus kita pertaruhkan dalam memilih sesuatu ya?
Di caseku kemarin, kalau aku memilih bertahan di kos Sumadiyono, itu artinya aku hanya punya waktu di Jogja selama sebulan pasca wisuda. Dengan begitu, mungkin kita akan memanfaatkan waktu dengan baik. Tapi, konsekuensinya, aku mungkin tidak bisa menyaksikan kamu sidang, tidak bisa menghadiri wisudamu. Sedangkan, dengan aku pindah kos, aku bisa menunda kepulanganku selama tiga bulan, dengan konsekuensi yang sangat beragam, mulai dari yang baik sampai yang buruk. Baiknya, aku bisa menemanimu sidang, sekalipun tidak diperkenankan masuk ruanganmu, tapi aku sepenuhnya bisa memahami itu. Pun, aku bisa hadir di wisudamu. Memang, di awal pindah itu kumaksudkan untuk mengolor waktu biar aku bisa lebih lama menikmati Jogja, tapi tidak dengan bulan kedua pasca wisuda (Juli), aku sudah bosan berada di Jogja.
Kamu mungkin akan dengan gampang menyebut kepulanganku setelah wisudamu sebagai alasan klise. Padahal, menurutmu alasan utamanya hanya enggan untuk beranjak dari Jogja. Tapi coba aku beri sedikit konteks yang semoga kamu tidak berfikir ini hanya upaya pembenaran belaka. Di waktu krisis itu, seminggu lebih sebelum jadwal wisudamu, aku sebenarnya ada panggilan dari dosen Surabaya. Temanku yang posisinya dosen baru pun berupaya memastikan kapan aku bisa ke Surabaya, karena ada beberapa hal yang perlu dibicarakan. Dan di situ, aku selalu menegaskan kalau aku harus menunggu wisudanya temanku dulu.
Kamu juga mungkin dengan gampang menyatakan kalau aku bukan orang yang mau berkorban untuk orang lain, sekalipun konteksnya bercanda. Di satu aspek, pernyataan itu bisa dibenarkan. Tapi, di aspek lain, aku pribadi akan menolaknya secara tegas, jika faktanya tidak demikian. Mereka yang berelasi denganku akan tahu bagaimana ketika seorang Rika Leli merelakan dirinya untuk orang lain. Semoga konteks ini bisa membantu menjernihkan asumsi-asumsimu. Sekalipun tidak bisa sepenuhnya membantu menguraikan satu kasus kenapa aku tidak menemanimu sepenuh hari di wisudamu, tidak seperti kamu yang sepenuh hari menemaniku, bahkan dengan pengorbanan-pengorbananmu. Jujur, waktu itu aku juga bingung. Aku bingung harus bagaimana menempatkan diri di antara orang-orang yang kupikir lebih sering membersamaimu, lebih paham sama kamu, perasaan yang sama ketika aku menemanimu saat sidang. Buruknya, aku tidak punya sensitivitas sosial yang baik. Sesimpel aku cuma butuh nimbrung bareng mereka. Eh, malah milih menepi. Kacau.
Oleh karenanya, aku minta maaf.
Belakangan, aku sering memikirkan satu hal: orang-orang yang bilang aku baik tuh dari sisi mananya ya? Padahal, kalau dipikir-pikir, aku termasuk orang yang jahat lho. Tapi, di naskah ini, daripada membicarakan sesuatu yang sifatnya subjektif, mari membicarakan hal-hal yang lebih berharga daripada kasus-kasus di atas.
***
Nuy, pernah ngebayangin nggak kalau sebenarnya kehidupan bersama manusia itu tidak hanya menyedihkan, tapi juga sangat berat, bahkan mungkin sangat melelahkan? Ini juga yang pernah dinyatakan oleh Thomas Hobbes. Tapi, dalam bayanganku, kehidupan bersama manusia juga sangat menyenangkan. Ya, di saat kita mendapatkan tempat yang tepat, di saat kita dimengerti dengan baik. Karena di hadapan manusia, dimengerti itu tampak sebagai sebuah kemewahan. Pun, kita semua tahu bahwa upaya untuk mengerti dan memahami itu bukanlah sesuatu yang mudah. Makanya, hasil dari dimengerti itu sangatlah berharga, karena memang tidak semua orang bisa mengerti. Begitulah adanya, kita selalu hidup dalam dua ketegangan itu; menyedihkan dan menyenangkan.
Di sini, aku tidak akan mengatakan kalau aku bisa mengerti dan memahami kamu. Buktinya, kita sering ada konflik yang sumbernya dari aku. Bukti lainnya, kamu sering merasa tidak kumengerti dan kupahami kan? Kadang aku juga berpikir, apa kalau kita hendak mengantongi karakter orang lain tuh, kita harus melewati berbagai macam konflik ya? Dengan harapan, setelah ada konflik, kita bisa mempelajari karakter satu sama lain. Lebih jauh lagi, kita bisa menerima satu sama lain. Artinya, dari konflik itulah kita bertumbuh. Saat bersamaan, aku juga berpikir, sepertinya yang kita butuhkan saat berelasi dengan orang lain adalah kelogowoan hati masing-masing. Semakin besar hatinya, semakin baik juga pemaknaannya. Semakin luas jiwanya, semakin baik juga penerimaannya. Itu juga yang sampai saat ini masih kulakukan kepadamu, yang hasilnya jauh sekali dari kata sempurna. Mungkin, selama ini kita punya keterbatasan waktu untuk bercengkerama. Entah, keterbatasan apa lagi yang melingkupi kita (aku).
Tapi, aku selalu bersyukur karena pernah diberi kesempatan untuk hadir di ruangmu, menyaksikan titik terendahmu. Aku pun bersyukur punya ruang aman dan nyaman untuk pulang ketika di posisi terendah. Ketika aku kesulitan, aku tidak segan untuk meminta pertolongan ke kamu. Aku sering kali merepotkanmu. Kadang aku juga merasa nggak layak untuk ngomong apapun di depanmu, apalagi memberimu nasihat. Bagaimana mungkin aku menasehati orang yang pengalamannya jauh lebih banyak dari aku, di hadapan orang yang sudah memahami banyak medan, yang berhasil mengeksplorasi diri dari segala hal.
Terima kasih ya, karena telah mengajarkan bagaimana kita bisa tetap menghidupi hidup ini with our own mechanisms. Kadang memang cukup kita aja yang tahu bagaimana mekanismenya dan cukup kita sendiri yang merasakan apa konsekuensinya.
Malam kemarin, terima kasih sudah mau menemani ke Tugu. Sudah mau berkorban menerjang udara dinginnya Jogja, di saat aku tidak bisa berkorban untuk memberimu jaket yang sedang aku kenakan. Mungkin aku perlu mengeksplisitkan satu hal, kamu itu sangat berharga di perjalananku selama di Jogja.
Terima kasih dan mohon maaf. Sehat selalu. ❤️
With love,
Rika Leli