Setelah saya refleksikan, pengalaman saya menjadi satu-satunya perempuan di kelas yang isinya manusia-manusia 'berotak' seperti ensiklopedia, bahkan lebih canggih dari itu, tidak akan pernah saya sesali. Sekalipun perjalanannya penuh dengan isak tangis, tapi saya tidak pernah terbesit untuk mundur, bahkan menyudahi proses belajar bersama mereka. Saya memilih untuk menyatu dengan kultur belajar yang dibangun bersama oleh keempat pengawal akademik yang kalau menyatu akan menjadi ras terkuat di muka bumi ini. Kalimat tersebut mungkin terkesan berlebihan, tapi bisa segera disanggah dengan fenomena dosen yang sering kali memilih untuk menjadi moderator ketika di kelas, sebab teman-teman yang terlalu aktif dalam melempar pertanyaan, kritik, juga saran. Meskipun demikian, momen yang saya sebut sebagai pembantaian itu tidak pernah kami tanggapi secara sentimen. Alih-alih saling berkompetisi, apalagi sampai menjatuhkan satu sama lain, kami justru saling membantu satu sama lain. Itulah ruang aman yang mendorong saya untuk tetap bertahan, bahkan memutuskan untuk bertumbuh bersama mereka.
Bagaimana saya tidak terenyuh dengan kebaikan teman yang menelfon di tengah malam hanya untuk memastikan apakah ada kesulitan atau tidak dalam merampungkan makalah Filsafat Ilmu-ilmu Keislaman yang diampu Prof. Amin Abdullah? Sebagai presenter pertama, jelas saya merasa kebingungan dalam menuliskan topik yang asing bagi saya, belum lagi tekanan mental untuk mengirim tulisan ke Prof. Amin. Ia membantu mencarikan referensi, karena menemukan adanya rujukan kedua dalam tulisan saya. Ia juga memberikan pesan yang saya aplikasikan sampai hari ini, “Kutip dari bukunya langsung! Tidak peduli bahasanya apa. Kalau tidak bisa menerjemahkan, ada bantuan google.” Dialah Egi Tanadi Taufik, yang kalau di kelas selalu memanggil nama teman-teman agar turut berembuk. Sialan! Tapi, terima kasih banyak. Anak itu selalu punya cara untuk mengekspresikan kejailannya melalui kalimat-kalimat satire, yang pada akhirnya saya labeli Si Tengil Egi Tanadi. Bagi saya, Egi-lah yang membangun standar di kelas, yang kemudian berdampak ke karakter personil kelas.
Meskipun pembelajaran di awal semester dilakukan secara online karena pandemi, namun saya tetap merasakan nuansa belajar yang sangat kental. Selain keaktifan di jam perkuliahan, diskusi berlima juga rutin dilakukan di luar kelas. Kami selalu mempelajari naskah yang diberikan dosen untuk respons paper mingguan, kami juga sering kali mendiskusikan satu topik tertentu. Dengan iklim belajar yang baru saya dapatkan itu, nikmat mana lagi yang hendak saya dustakan? Tapi, karena kemampuan intelektual saya yang jauh di bawah mereka, ada kalanya saya takut untuk mengajukan pendapat, sehingga memutuskan untuk menjadi umat yang pasif. Sayangnya, keputusan itu hanya berlaku kurang dari lima menit.
Di luar diskusi rutin, Fakhri Afif juga sering kali mengadakan diskusi dadakan. Ia biasanya menambahkan Aldi Hidayat sebagai mitra diskusi, kadang juga diselingi konser virtual. Kegemaran Fakhri dalam membaca dan mendiskusikan hasil bacaannya itu menuntut saya untuk lebih banyak mengeksplor bacaan. Penjelasan dia yang panjang lebar itu juga selalu menjadi preliminary dalam memahami suatu topik, khususnya dalam disiplin filsafat. Keinginan saya untuk memahami filsafat sedari awal masuk S1 semakin menguat seiring dengan tingginya intensitas belajar bersamanya. Kiranya, filsafat sudah menubuh dalam dirinya sebagai cara berpikir, bahkan cara berada. Ia yang selalu menekankan cara berpikir kritis dan metodologis, tidak hanya dalam ranah akademik, tetapi juga dalam menjalani kehidupan ini.
Di tengah perjalanan semester satu, salah satu dari kami tiba-tiba menghilang tanpa kabar. Ialah Fitra Rizkikah. Walhasil, personil kelas tersisa empat orang. Berkurangnya jumlah personil ini berdampak pada pembelajaran di kelas yang terasa lebih intim, alias suasana kelas semakin mencekam. Kami harus menanggung keaktifan satu orang, ditambah lagi waktu presentasi yang bergilir semakin cepat. Di kelas Prof. Machasin misalnya, yang menuntut kami untuk menyampaikan respons paper mingguan, lalu dilanjutkan dengan saling menanggapi satu sama lain, di mana tanggapan ini terjadi minimal dua kali putaran. Bisa dibayangkan ketika personilnya hilang satu? Ketika memutuskan diam setidaknya 3-4 menit, beliau akan berkomentar, “Kok cuma jadi mustami’?” Ya, sesuatu yang terjadi pada diri saya.
Dampak lainnya adalah ketika ada personil yang tidak hadir. Ketika dua dari empat personil izin tidak mengikuti kelas, maka yang terjadi adalah tuntutan untuk lebih aktif. Suatu ketika, Egi dan Aldi izin tidak mengikuti kelas Prof, Machasin. Akhirnya, hanya ada saya dan Fakhri di Zoom meet, tentu dengan Prof yang tetap memilih menjadi moderator. Lalu apa yang terjadi? Saya dan Fakhri berasa sedang beradu argumen. Bagi saya, kelas prof Machasin adalah momok yang mematikan, yang sepanjang perkuliahan rasanya sulit untuk bernafas. Respons beliau saat ada misunderstanding dari kami itu yang selalu membuat saya ketar-ketir, bahkan sampai tidak nafsu makan, mual, keringat dingin dari sehari sebelum pertemuan dimulai. (Emoji meleyot)
Itulah culture shock yang sesungguhnya; mendapatkan iklim belajar yang terbangun sehat. Jika anda pernah merasa menjadi mahasiswa pasif, yang kerjaannya hanya nongkrong, lalu dipertemukan dengan circle yang menuntut anda untuk berwawasan luas, apa yang anda lakukan? Menangis? Tentu saja. Di kondisi seperti itu, rasanya saya ingin melahap semua bacaan dalam waktu sekejap, lalu menyulap diri saya menjadi manusia pintar nan kritis. Konyol!
Bagi saya saat itu, upaya paling rasional adalah berjalan di lintasan masing-masing. Jika anda tidak tahu arah, ya bertanya. Jika anda tidak mampu berjalan sendiri, ya meminta uluran tangan. Sesimpel itu bukan? Sekalipun rasa cemas selalu menghantui, tapi bukankah kita hidup di bawah kecemasan itu sendiri? Merujuk pada apa yang Heidegger sebut sebagai Angst (kegelisahan), bahwa keterlemparan eksistensial kita itu harus dirayakan. Karenanya, di tengah-tengah saya merasakan kecemasan dalam menghadapi peristiwa hidup bersama teman-teman, saya tersadar akan waktu yang tidak banyak. Sehingga, setelah bertemu dengan mereka di Jogja, saya putuskan untuk merayakan hari-hari bersama mereka, tidak hanya dengan berkelana menjadi pengepul pdf, tetapi juga berkelana menjajaki kuliner di Jogja. Begitulah kiranya pesan implisit yang tersampaikan saat selesai—menggunakan istilah Egi—laptopan bareng.
Maka dari itu, SEMUANYA HARUS DIRAYAKAN!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar