Minggu, 28 Juli 2024

Rekam Jejak Pendekar yang Tak Ulung (II)

Di tengah-tengah proses penerimaan untuk undur diri dari Yogyakarta, saya bertemu salah satu personil kelas yang kalau ngobrol tidak pernah akur. Ia yang selama ini selalu mengejek sisi kebungsuan saya, yang selalu menganggap saya bocil. “Tapi kamu sekarang beda, Rik. Terlihat sudah memiliki value,” katanya. Mendengar pujian semacam itu darinya tidak akan membuat saya tersanjung, malah muak. Saya segera merespons: aku ga akan melangit, sekalipun kamu puji-puji sampek berguling-guling. Lalu kami tertawa bersama. Setelah saling menceritakan kegelisahan masing-masing, ia menutup perbincangan kami dengan satu pertanyaan reflektif, “sepertinya goalsmu tercapai ya selama studi di Jogja?”

Pertanyaan itu membuat saya terdiam, mendesak saya untuk menziarahi perjalanan dua tahun ke belakang. “Ayok pulang!” ajaknya sembari memutus lamunan saya. Momen perenungan masih berlanjut di atas motor, ditemani romantisnya jalanan Jogja dan udara dingin yang menusuk dada. Kenapa ada banyak hal yang membuat saya berat untuk meninggalkan Jogja? Kenapa juga tidak ada alasan untuk bertahan di Jogja? Rasanya persis seperti hendak meninggalkan Surabaya, tetapi kali ini sedikit lebih berat.

Sebagai kota impian untuk studi lanjut sejak duduk di bangku sekolah, Jogja memang memberi angin segar di segala aspek kehidupan saya. Sekalipun pada hari ini saya belum mendapatkan satu pencapaian tertentu, tapi daripada terjebak pada antagonisme terhadap diri sendiri, yang kerap kali mewujud dalam bentuk perbandingan diri dengan yang liyan, lebih baik saya fokus pada diri saya di hari ini. Apapun pengalaman yang saya dapatkan dari Jogja, bahkan pengalaman hidup yang ditarik jauh ke belakang, akan senantiasa membersamai saya dalam menjalani kehidupan ke depan. Substansi dari kesejarahan itu akan terintegrasi, baik pada masa kini maupun masa depan.

Ketika memutuskan S2 di Jogja dengan prodi yang tidak linier, saya tidak memiliki ekspektasi yang muluk-muluk. Saya hanya ingin membayar impian lama, sekaligus menginginkan atmosfer akademik yang berbeda, namun tidak ingin melompat jauh dari kajian sebelumnya. Ketika melihat list prodi S2 di UIN SUKA, HQ seakan-akan menawarkan banyak hal baru. Karenanya, keraguan yang datang dari berbagai pihak tidak dapat mengubah pilihan saya kala itu. Dan ya, que sera sera: whatever will be, will be. Pilihan yang menyenangkan!

Sebagai manusia yang memiliki mekanisme lambat dalam beradaptasi, pilihan untuk menetap di pengalaman kemarin atau beranjak darinya kerap datang menghantui. Sekalipun manusia diberi daya adaptif yang luar biasa, namun pernyataan tersebut tetaplah mengindikasikan adanya sebuah proses. Daya dan upaya setiap orang dalam beradaptasi pasti berbeda-beda, ada yang mengambil waktu yang relatif singkat, ada juga yang berkepanjangan. Kadang merasa senang, karena mampu menyelami ruang sunyi diri sendiri. Kadang juga merutuki diri sendiri, sebab jika sedikit meleset dari batas waktu yang telah saya tetapkan, maka segala konsekuensi harus saya terima dengan lapang.

Tepat saat saya menulis teks ini, salah satu sahabat karib mengirimkan sebuah postingan terkait personality INFJ. Di antara karakternya adalah idealistis dan memiliki rasa tanggung jawab moral yang kuat, persis dengan karakter diri saya. Hal ini jelas sangat familiar bagi seorang karib yang telah mengantongi kartu AS saya. Ia yang tampak cuek, tapi selalu memiliki cara tersendiri dalam mengekspresikan kepeduliannya. “Saking idealisnya, kadang malah melewatkan satu kesempatan karena pikiran sendiri,” begitu respons balik dari saya.

Bagi saya, perjalanan hidup itu bagaikan menaiki anak tangga, di mana di setiap pijakannya terdapat banyak ruang-ruang yang berisi beragam arsip kehidupan. Artinya, ketika hendak beranjak pada step hidup berikutnya, saya selalu memberikan ruang dan waktu untuk merefleksikan rentetan peristiwa yang telah terjadi dengan mempertanyakan tiga hal: apa yang saya dapatkan? apa yang harus saya stop? dan apa yang bisa saya lanjutkan dan kembangkan? Ketiga pertanyaan tersebut harus dijawab secara kritis. Dengan mekanisme seperti ini, kadang saya terjebak dalam berbagai emosi, sehingga selalu membutuhkan kesadaran untuk mengendalikan diri dari segala emosi yang hadir. Menghidupi hidup yang sungguh melelahkan bukan? Terlalu menteorisasi hidup ya begini jadinya; lambat dalam mencapai sesuatu.

Makanisme semacam itu pun tidak relevan bagi banyak orang. Mereka yang memiliki mekanisme ‘sat-set’ sering kali melabeli saya sebagai manusia paling tenang, manusia yang tidak berupaya memproyeksikan masa depannya. Di hadapan judgement semacam itu, saya tidak akan angkat bicara. Sebab, saya meyakini bahwa setiap orang memiliki mekanisme masing-masing dalam menghidupi hidupnya.

MEMENTO VIVERE. 😊

Tidak ada komentar:

Posting Komentar