Di tengah-tengah proses penerimaan untuk undur diri dari Yogyakarta, saya bertemu salah satu personil kelas yang kalau ngobrol tidak pernah akur. Ia yang selama ini selalu mengejek sisi kebungsuan saya, yang selalu menganggap saya bocil. “Tapi kamu sekarang beda, Rik. Terlihat sudah memiliki value,” katanya. Mendengar pujian semacam itu darinya tidak akan membuat saya tersanjung, malah muak. Saya segera merespons: aku ga akan melangit, sekalipun kamu puji-puji sampek berguling-guling. Lalu kami tertawa bersama. Setelah saling menceritakan kegelisahan masing-masing, ia menutup perbincangan kami dengan satu pertanyaan reflektif, “sepertinya goalsmu tercapai ya selama studi di Jogja?”
Pertanyaan itu membuat saya terdiam, mendesak saya untuk
menziarahi perjalanan dua tahun ke belakang. “Ayok pulang!” ajaknya sembari
memutus lamunan saya. Momen perenungan masih berlanjut di atas motor, ditemani romantisnya
jalanan Jogja dan udara dingin yang menusuk dada. Kenapa ada banyak hal yang
membuat saya berat untuk meninggalkan Jogja? Kenapa juga tidak ada alasan untuk
bertahan di Jogja? Rasanya persis seperti hendak meninggalkan Surabaya, tetapi kali
ini sedikit lebih berat.
Sebagai kota impian untuk studi lanjut sejak duduk di bangku
sekolah, Jogja memang memberi angin segar di segala aspek kehidupan saya. Sekalipun
pada hari ini saya belum mendapatkan satu pencapaian tertentu, tapi daripada terjebak
pada antagonisme terhadap diri sendiri, yang kerap kali mewujud dalam bentuk perbandingan
diri dengan yang liyan, lebih baik saya fokus pada diri saya di hari ini. Apapun
pengalaman yang saya dapatkan dari Jogja, bahkan pengalaman hidup yang ditarik jauh ke
belakang, akan senantiasa membersamai saya dalam menjalani kehidupan ke depan. Substansi
dari kesejarahan itu akan terintegrasi, baik pada masa kini maupun masa depan.
Ketika memutuskan S2 di Jogja dengan prodi yang tidak
linier, saya tidak memiliki ekspektasi yang muluk-muluk. Saya hanya ingin
membayar impian lama, sekaligus menginginkan atmosfer akademik yang berbeda,
namun tidak ingin melompat jauh dari kajian sebelumnya. Ketika melihat list
prodi S2 di UIN SUKA, HQ seakan-akan menawarkan banyak hal baru. Karenanya,
keraguan yang datang dari berbagai pihak tidak dapat mengubah pilihan saya kala itu. Dan ya, que sera sera: whatever will be, will be. Pilihan yang menyenangkan!
Sebagai manusia yang memiliki mekanisme lambat dalam
beradaptasi, pilihan untuk menetap di pengalaman kemarin atau beranjak darinya kerap
datang menghantui. Sekalipun manusia diberi daya adaptif yang luar biasa, namun
pernyataan tersebut tetaplah mengindikasikan adanya sebuah proses. Daya dan
upaya setiap orang dalam beradaptasi pasti berbeda-beda, ada yang mengambil
waktu yang relatif singkat, ada juga yang berkepanjangan. Kadang merasa senang,
karena mampu menyelami ruang sunyi diri sendiri. Kadang juga merutuki diri
sendiri, sebab jika sedikit meleset dari batas waktu yang telah saya tetapkan, maka
segala konsekuensi harus saya terima dengan lapang.
Tepat saat saya menulis teks ini, salah satu sahabat karib
mengirimkan sebuah postingan terkait personality INFJ. Di antara
karakternya adalah idealistis dan memiliki rasa tanggung jawab moral yang kuat,
persis dengan karakter diri saya. Hal ini jelas sangat familiar bagi seorang
karib yang telah mengantongi kartu AS saya. Ia yang tampak cuek, tapi selalu
memiliki cara tersendiri dalam mengekspresikan kepeduliannya. “Saking
idealisnya, kadang malah melewatkan satu kesempatan karena pikiran sendiri,”
begitu respons balik dari saya.
Bagi saya, perjalanan hidup itu bagaikan menaiki anak
tangga, di mana di setiap pijakannya terdapat banyak ruang-ruang yang berisi beragam
arsip kehidupan. Artinya, ketika hendak beranjak pada step hidup berikutnya, saya selalu
memberikan ruang dan waktu untuk merefleksikan rentetan peristiwa yang telah terjadi
dengan mempertanyakan tiga hal: apa yang saya dapatkan? apa yang harus saya
stop? dan apa yang bisa saya lanjutkan dan kembangkan? Ketiga pertanyaan tersebut
harus dijawab secara kritis. Dengan mekanisme seperti ini, kadang saya terjebak
dalam berbagai emosi, sehingga selalu membutuhkan kesadaran untuk mengendalikan
diri dari segala emosi yang hadir. Menghidupi hidup yang sungguh melelahkan
bukan? Terlalu menteorisasi hidup ya begini jadinya; lambat dalam mencapai
sesuatu.
Makanisme semacam itu pun tidak relevan bagi banyak orang. Mereka
yang memiliki mekanisme ‘sat-set’ sering kali melabeli saya sebagai manusia
paling tenang, manusia yang tidak berupaya memproyeksikan masa depannya. Di hadapan
judgement semacam itu, saya tidak akan angkat bicara. Sebab, saya meyakini
bahwa setiap orang memiliki mekanisme masing-masing dalam menghidupi hidupnya.
MEMENTO VIVERE. 😊
Tidak ada komentar:
Posting Komentar