Peran teman-teman HQ tidak terbatas pada ranah akademik belaka, sebagaimana yang telah saya ceritakan di Rekam Jejak Pendekar yang Tak Ulung (I). Mereka juga sangat keras dalam menyikapi persoalan limitasi waktu yang saya tetapkan untuk memulihkan energi. Waktu itu, saat baterai sosial saya habis, mereka tidak mengizinkan saya untuk menarik diri terlalu lama, sesuatu yang menjadi kebiasaan saya selama ini. Ketika pagi hari saya presentasi dibantai habis-habisan, dan semalamnya saya tidak tidur, saya reflek menampikan diri yang pendiam saat makan bersama setelah jam perkuliahan. Sikap ini bukan mengekspresikan kemarahan karena momen pembantaian, tapi karena saya capek dan butuh tidur panjang.
“Nanti sore kami ke kosmu ya, makan omelet buatanmu,”
kata si tengil.
“Gamau, aku mau tidur!” jawab saya dengan nada ketus.
“Setelah ini kamu tidur, nanti sore kami bantu masak.
Kami juga yang belanja,” sahut si luhur.
Sore hari, mereka datang ke kos dengan membawa belanjaan.
Dengan berat hati, saya pun menyambut kedatangan mereka yang sungguh
menampilkan keceriaannya masing-masing. Sangat kontras dengan apa yang sedang
rasa rasakan.
Singkat cerita, masakan pun jadi. Makan bersama dimulai
dengan sangat riuh. Mereka kalau sudah menyatu mana bisa diam?!
Setelah makan, saya izin mandi sebentar. Setelah itu, saya
keluar dengan penampilan yang lebih fresh. “Gimana perasaannya sekarang?
Sudak enakan bukan?” tanya si tengil. “Kami tidak ingin melihat kamu
terlalu larut dengan emosimu. Karena ke depannya, dunia akan jauh lebih kejam
dari apa yang kami lakukan hari ini,” lanjutnya. Mendengar pernyataan
demikian, saya rasanya tak mampu menahan air mata agar tidak jatuh membasahi
pipi. Perhatian semacam ini baru saya dapatkan dari mereka. “Kalau sudah
enakan, ayo pergi ngopi! Atau pengen beli ice cream dulu?” tanya si luhur.
Saya seperti memiliki ruang aman dan nyaman untuk hidup. Inilah sisi lembut
mereka setelah mereka melakukan wajib militer terhadap diri saya.
Selain itu, perempuan polos satu ini sering kali membuat
mereka tertawa lepas, hingga mereka memilih untuk mengedukasi saya. Ketika
kepolosan saya dalam mengetahui hal-hal tabu dijaga dengan sangat baik oleh
teman-teman Surabaya, mereka justru memperkenalkannya dengan model pengasuhan
yang sangat ketat. Di saat teman-teman Surabaya melarang keras untuk mencari
siapa itu kakek Su*i*n*, mereka justru menyarankan saya untuk mencari tahu.
Bahkan, ketika saya menolak, mereka yang akan mencarikan, lalu menunjukkannya
ke saya. “Cari, Rik! Gapapa, biar tahu aja.” Begitulah pesan mereka.
Karenanya, ketika orang lain mengatakan bahwa saya bertumbuh
dengan baik selama di Jogja, bagi mereka, Jogja jelas merusak Rika. Dalam kasus
lain, saat saya mengartikulasikan kata Sponge yang saya tujukan pada nama suatu
snack, daya tangkap mereka jauh dari intensi saya. Bagaimana tidak, mereka yang
berpikiran post-strukturalis itu berpegang pada prinsip bahwa bahasa itu
memiliki ambiguitas, sedangkan saya masih terjebak dalam interpretasi tunggal.
Akibatnya, sering kali satu kata di hadapan mereka memiliki konotasi lain.
Capeknya bukan main kalau menghadapi mereka, tapi mereka juga yang menawarkan
rumah untuk tempat saya berpulang.
Saya pun heran dengan maksud 'baik' beberapa orang yang
ingin menyelamatkan saya dari cengkeraman mereka yang dijuluki sok akademis.
Beberapa pihak sampai memunculkan praduga, ‘karena saya berteman dengan
mereka, makanya saya tidak mempunyai banyak teman'. Belakangan, asumsi itu
saya afirmasi. Ketika berteman dengan mereka, saya memang tidak memiliki banyak
teman, bahkan tidak memiliki peluang untuk menambah teman baru. Dan memang
sedari kecil tidak memiliki banyak teman. Entah, persoalan teman ini menyisakan
banyak tanda tanya.
Memilih untuk menghabiskan waktu bersama teman-teman juga sepenuhnya ada di bawah kendali dan kesadaran saya pribadi. Alasannya beragam, karena saya mengetahui beberapa kekurangan dalam diri saya, mereka mendukung pertumbuhan saya tidak hanya di aspek intelektual, namun juga emosional, dan yang terakhir karena saya tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan berharga ini.
Teks ini mungkin terkesan terlalu meromantisasi suatu
peristiwa hidup, atau terlalu menonjolkan keakuan diri, atau justru hanya
dianggap sebagai dongeng fana yang penuh ilusi. Tidak masalah, sebab beragam
perspektif akan selalu terbuka ketika teks telah dibentangkan. Tapi, inilah
yang saya rasakan—suatu ekspresi subjektif saya dalam menghayati pengalaman hidup
saya sendiri.