Senin, 29 Juli 2024

Rekam Jejak Pendekar yang Tak Ulung (III)

Peran teman-teman HQ tidak terbatas pada ranah akademik belaka, sebagaimana yang telah saya ceritakan di Rekam Jejak Pendekar yang Tak Ulung (I). Mereka juga sangat keras dalam menyikapi persoalan limitasi waktu yang saya tetapkan untuk memulihkan energi. Waktu itu, saat baterai sosial saya habis, mereka tidak mengizinkan saya untuk menarik diri terlalu lama, sesuatu yang menjadi kebiasaan saya selama ini. Ketika pagi hari saya presentasi dibantai habis-habisan, dan semalamnya saya tidak tidur, saya reflek menampikan diri yang pendiam saat makan bersama setelah jam perkuliahan. Sikap ini bukan mengekspresikan kemarahan karena momen pembantaian, tapi karena saya capek dan butuh tidur panjang.

Nanti sore kami ke kosmu ya, makan omelet buatanmu,” kata si tengil.

Gamau, aku mau tidur!” jawab saya dengan nada ketus.

Setelah ini kamu tidur, nanti sore kami bantu masak. Kami juga yang belanja,” sahut si luhur.

Sore hari, mereka datang ke kos dengan membawa belanjaan. Dengan berat hati, saya pun menyambut kedatangan mereka yang sungguh menampilkan keceriaannya masing-masing. Sangat kontras dengan apa yang sedang rasa rasakan.

Singkat cerita, masakan pun jadi. Makan bersama dimulai dengan sangat riuh. Mereka kalau sudah menyatu mana bisa diam?!

Setelah makan, saya izin mandi sebentar. Setelah itu, saya keluar dengan penampilan yang lebih fresh. “Gimana perasaannya sekarang? Sudak enakan bukan?” tanya si tengil. “Kami tidak ingin melihat kamu terlalu larut dengan emosimu. Karena ke depannya, dunia akan jauh lebih kejam dari apa yang kami lakukan hari ini,” lanjutnya. Mendengar pernyataan demikian, saya rasanya tak mampu menahan air mata agar tidak jatuh membasahi pipi. Perhatian semacam ini baru saya dapatkan dari mereka. “Kalau sudah enakan, ayo pergi ngopi! Atau pengen beli ice cream dulu?” tanya si luhur. Saya seperti memiliki ruang aman dan nyaman untuk hidup. Inilah sisi lembut mereka setelah mereka melakukan wajib militer terhadap diri saya.

Selain itu, perempuan polos satu ini sering kali membuat mereka tertawa lepas, hingga mereka memilih untuk mengedukasi saya. Ketika kepolosan saya dalam mengetahui hal-hal tabu dijaga dengan sangat baik oleh teman-teman Surabaya, mereka justru memperkenalkannya dengan model pengasuhan yang sangat ketat. Di saat teman-teman Surabaya melarang keras untuk mencari siapa itu kakek Su*i*n*, mereka justru menyarankan saya untuk mencari tahu. Bahkan, ketika saya menolak, mereka yang akan mencarikan, lalu menunjukkannya ke saya. “Cari, Rik! Gapapa, biar tahu aja.” Begitulah pesan mereka.

Karenanya, ketika orang lain mengatakan bahwa saya bertumbuh dengan baik selama di Jogja, bagi mereka, Jogja jelas merusak Rika. Dalam kasus lain, saat saya mengartikulasikan kata Sponge yang saya tujukan pada nama suatu snack, daya tangkap mereka jauh dari intensi saya. Bagaimana tidak, mereka yang berpikiran post-strukturalis itu berpegang pada prinsip bahwa bahasa itu memiliki ambiguitas, sedangkan saya masih terjebak dalam interpretasi tunggal. Akibatnya, sering kali satu kata di hadapan mereka memiliki konotasi lain. Capeknya bukan main kalau menghadapi mereka, tapi mereka juga yang menawarkan rumah untuk tempat saya berpulang.

Saya pun heran dengan maksud 'baik' beberapa orang yang ingin menyelamatkan saya dari cengkeraman mereka yang dijuluki sok akademis. Beberapa pihak sampai memunculkan praduga, ‘karena saya berteman dengan mereka, makanya saya tidak mempunyai banyak teman'. Belakangan, asumsi itu saya afirmasi. Ketika berteman dengan mereka, saya memang tidak memiliki banyak teman, bahkan tidak memiliki peluang untuk menambah teman baru. Dan memang sedari kecil tidak memiliki banyak teman. Entah, persoalan teman ini menyisakan banyak tanda tanya.

Memilih untuk menghabiskan waktu bersama teman-teman juga sepenuhnya ada di bawah kendali dan kesadaran saya pribadi. Alasannya beragam, karena saya mengetahui beberapa kekurangan dalam diri saya, mereka mendukung pertumbuhan saya tidak hanya di aspek intelektual, namun juga emosional, dan yang terakhir karena saya tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan berharga ini.

Teks ini mungkin terkesan terlalu meromantisasi suatu peristiwa hidup, atau terlalu menonjolkan keakuan diri, atau justru hanya dianggap sebagai dongeng fana yang penuh ilusi. Tidak masalah, sebab beragam perspektif akan selalu terbuka ketika teks telah dibentangkan. Tapi, inilah yang saya rasakan—suatu ekspresi subjektif saya dalam menghayati pengalaman hidup saya sendiri.

Minggu, 28 Juli 2024

Rekam Jejak Pendekar yang Tak Ulung (II)

Di tengah-tengah proses penerimaan untuk undur diri dari Yogyakarta, saya bertemu salah satu personil kelas yang kalau ngobrol tidak pernah akur. Ia yang selama ini selalu mengejek sisi kebungsuan saya, yang selalu menganggap saya bocil. “Tapi kamu sekarang beda, Rik. Terlihat sudah memiliki value,” katanya. Mendengar pujian semacam itu darinya tidak akan membuat saya tersanjung, malah muak. Saya segera merespons: aku ga akan melangit, sekalipun kamu puji-puji sampek berguling-guling. Lalu kami tertawa bersama. Setelah saling menceritakan kegelisahan masing-masing, ia menutup perbincangan kami dengan satu pertanyaan reflektif, “sepertinya goalsmu tercapai ya selama studi di Jogja?”

Pertanyaan itu membuat saya terdiam, mendesak saya untuk menziarahi perjalanan dua tahun ke belakang. “Ayok pulang!” ajaknya sembari memutus lamunan saya. Momen perenungan masih berlanjut di atas motor, ditemani romantisnya jalanan Jogja dan udara dingin yang menusuk dada. Kenapa ada banyak hal yang membuat saya berat untuk meninggalkan Jogja? Kenapa juga tidak ada alasan untuk bertahan di Jogja? Rasanya persis seperti hendak meninggalkan Surabaya, tetapi kali ini sedikit lebih berat.

Sebagai kota impian untuk studi lanjut sejak duduk di bangku sekolah, Jogja memang memberi angin segar di segala aspek kehidupan saya. Sekalipun pada hari ini saya belum mendapatkan satu pencapaian tertentu, tapi daripada terjebak pada antagonisme terhadap diri sendiri, yang kerap kali mewujud dalam bentuk perbandingan diri dengan yang liyan, lebih baik saya fokus pada diri saya di hari ini. Apapun pengalaman yang saya dapatkan dari Jogja, bahkan pengalaman hidup yang ditarik jauh ke belakang, akan senantiasa membersamai saya dalam menjalani kehidupan ke depan. Substansi dari kesejarahan itu akan terintegrasi, baik pada masa kini maupun masa depan.

Ketika memutuskan S2 di Jogja dengan prodi yang tidak linier, saya tidak memiliki ekspektasi yang muluk-muluk. Saya hanya ingin membayar impian lama, sekaligus menginginkan atmosfer akademik yang berbeda, namun tidak ingin melompat jauh dari kajian sebelumnya. Ketika melihat list prodi S2 di UIN SUKA, HQ seakan-akan menawarkan banyak hal baru. Karenanya, keraguan yang datang dari berbagai pihak tidak dapat mengubah pilihan saya kala itu. Dan ya, que sera sera: whatever will be, will be. Pilihan yang menyenangkan!

Sebagai manusia yang memiliki mekanisme lambat dalam beradaptasi, pilihan untuk menetap di pengalaman kemarin atau beranjak darinya kerap datang menghantui. Sekalipun manusia diberi daya adaptif yang luar biasa, namun pernyataan tersebut tetaplah mengindikasikan adanya sebuah proses. Daya dan upaya setiap orang dalam beradaptasi pasti berbeda-beda, ada yang mengambil waktu yang relatif singkat, ada juga yang berkepanjangan. Kadang merasa senang, karena mampu menyelami ruang sunyi diri sendiri. Kadang juga merutuki diri sendiri, sebab jika sedikit meleset dari batas waktu yang telah saya tetapkan, maka segala konsekuensi harus saya terima dengan lapang.

Tepat saat saya menulis teks ini, salah satu sahabat karib mengirimkan sebuah postingan terkait personality INFJ. Di antara karakternya adalah idealistis dan memiliki rasa tanggung jawab moral yang kuat, persis dengan karakter diri saya. Hal ini jelas sangat familiar bagi seorang karib yang telah mengantongi kartu AS saya. Ia yang tampak cuek, tapi selalu memiliki cara tersendiri dalam mengekspresikan kepeduliannya. “Saking idealisnya, kadang malah melewatkan satu kesempatan karena pikiran sendiri,” begitu respons balik dari saya.

Bagi saya, perjalanan hidup itu bagaikan menaiki anak tangga, di mana di setiap pijakannya terdapat banyak ruang-ruang yang berisi beragam arsip kehidupan. Artinya, ketika hendak beranjak pada step hidup berikutnya, saya selalu memberikan ruang dan waktu untuk merefleksikan rentetan peristiwa yang telah terjadi dengan mempertanyakan tiga hal: apa yang saya dapatkan? apa yang harus saya stop? dan apa yang bisa saya lanjutkan dan kembangkan? Ketiga pertanyaan tersebut harus dijawab secara kritis. Dengan mekanisme seperti ini, kadang saya terjebak dalam berbagai emosi, sehingga selalu membutuhkan kesadaran untuk mengendalikan diri dari segala emosi yang hadir. Menghidupi hidup yang sungguh melelahkan bukan? Terlalu menteorisasi hidup ya begini jadinya; lambat dalam mencapai sesuatu.

Makanisme semacam itu pun tidak relevan bagi banyak orang. Mereka yang memiliki mekanisme ‘sat-set’ sering kali melabeli saya sebagai manusia paling tenang, manusia yang tidak berupaya memproyeksikan masa depannya. Di hadapan judgement semacam itu, saya tidak akan angkat bicara. Sebab, saya meyakini bahwa setiap orang memiliki mekanisme masing-masing dalam menghidupi hidupnya.

MEMENTO VIVERE. 😊

Kamis, 25 Juli 2024

Rekam Jejak Pendekar yang Tak Ulung (I)

Cerita Pendekar yang Tak Ulung di kelas HQ itu telah usai. Sekarang, ia sedang melanjutkan pertarungan hidupnya dengan mode baru.

Setelah saya refleksikan, pengalaman saya menjadi satu-satunya perempuan di kelas yang isinya manusia-manusia 'berotak' seperti ensiklopedia, bahkan lebih canggih dari itu, tidak akan pernah saya sesali. Sekalipun perjalanannya penuh dengan isak tangis, tapi saya tidak pernah terbesit untuk mundur, bahkan menyudahi proses belajar bersama mereka. Saya memilih untuk menyatu dengan kultur belajar yang dibangun bersama oleh keempat pengawal akademik yang kalau menyatu akan menjadi ras terkuat di muka bumi ini. Kalimat tersebut mungkin terkesan berlebihan, tapi bisa segera disanggah dengan fenomena dosen yang sering kali memilih untuk menjadi moderator ketika di kelas, sebab teman-teman yang terlalu aktif dalam melempar pertanyaan, kritik, juga saran. Meskipun demikian, momen yang saya sebut sebagai pembantaian itu tidak pernah kami tanggapi secara sentimen. Alih-alih saling berkompetisi, apalagi sampai menjatuhkan satu sama lain, kami justru saling membantu satu sama lain. Itulah ruang aman yang mendorong saya untuk tetap bertahan, bahkan memutuskan untuk bertumbuh bersama mereka.

Bagaimana saya tidak terenyuh dengan kebaikan teman yang menelfon di tengah malam hanya untuk memastikan apakah ada kesulitan atau tidak dalam merampungkan makalah Filsafat Ilmu-ilmu Keislaman yang diampu Prof. Amin Abdullah? Sebagai presenter pertama, jelas saya merasa kebingungan dalam menuliskan topik yang asing bagi saya, belum lagi tekanan mental untuk mengirim tulisan ke Prof. Amin. Ia membantu mencarikan referensi, karena menemukan adanya rujukan kedua dalam tulisan saya. Ia juga memberikan pesan yang saya aplikasikan sampai hari ini, “Kutip dari bukunya langsung! Tidak peduli bahasanya apa. Kalau tidak bisa menerjemahkan, ada bantuan google.” Dialah Egi Tanadi Taufik, yang kalau di kelas selalu memanggil nama teman-teman agar turut berembuk. Sialan! Tapi, terima kasih banyak. Anak itu selalu punya cara untuk mengekspresikan kejailannya melalui kalimat-kalimat satire, yang pada akhirnya saya labeli Si Tengil Egi Tanadi. Bagi saya, Egi-lah yang membangun standar di kelas, yang kemudian berdampak ke karakter personil kelas.

Meskipun pembelajaran di awal semester dilakukan secara online karena pandemi, namun saya tetap merasakan nuansa belajar yang sangat kental. Selain keaktifan di jam perkuliahan, diskusi berlima juga rutin dilakukan di luar kelas. Kami selalu mempelajari naskah yang diberikan dosen untuk respons paper mingguan, kami juga sering kali mendiskusikan satu topik tertentu. Dengan iklim belajar yang baru saya dapatkan itu, nikmat mana lagi yang hendak saya dustakan? Tapi, karena kemampuan intelektual saya yang jauh di bawah mereka, ada kalanya saya takut untuk mengajukan pendapat, sehingga memutuskan untuk menjadi umat yang pasif. Sayangnya, keputusan itu hanya berlaku kurang dari lima menit.

Di luar diskusi rutin, Fakhri Afif juga sering kali mengadakan diskusi dadakan. Ia biasanya menambahkan Aldi Hidayat sebagai mitra diskusi, kadang juga diselingi konser virtual. Kegemaran Fakhri dalam membaca dan mendiskusikan hasil bacaannya itu menuntut saya untuk lebih banyak mengeksplor bacaan. Penjelasan dia yang panjang lebar itu juga selalu menjadi preliminary dalam memahami suatu topik, khususnya dalam disiplin filsafat. Keinginan saya untuk memahami filsafat sedari awal masuk S1 semakin menguat seiring dengan tingginya intensitas belajar bersamanya. Kiranya, filsafat sudah menubuh dalam dirinya sebagai cara berpikir, bahkan cara berada. Ia yang selalu menekankan cara berpikir kritis dan metodologis, tidak hanya dalam ranah akademik, tetapi juga dalam menjalani kehidupan ini.

Di tengah perjalanan semester satu, salah satu dari kami tiba-tiba menghilang tanpa kabar. Ialah Fitra Rizkikah. Walhasil, personil kelas tersisa empat orang. Berkurangnya jumlah personil ini berdampak pada pembelajaran di kelas yang terasa lebih intim, alias suasana kelas semakin mencekam. Kami harus menanggung keaktifan satu orang, ditambah lagi waktu presentasi yang bergilir semakin cepat. Di kelas Prof. Machasin misalnya, yang menuntut kami untuk menyampaikan respons paper mingguan, lalu dilanjutkan dengan saling menanggapi satu sama lain, di mana tanggapan ini terjadi minimal dua kali putaran. Bisa dibayangkan ketika personilnya hilang satu? Ketika memutuskan diam setidaknya 3-4 menit, beliau akan berkomentar, “Kok cuma jadi mustami’?” Ya, sesuatu yang terjadi pada diri saya.

Dampak lainnya adalah ketika ada personil yang tidak hadir. Ketika dua dari empat personil izin tidak mengikuti kelas, maka yang terjadi adalah tuntutan untuk lebih aktif. Suatu ketika, Egi dan Aldi izin tidak mengikuti kelas Prof, Machasin. Akhirnya, hanya ada saya dan Fakhri di Zoom meet, tentu dengan Prof yang tetap memilih menjadi moderator. Lalu apa yang terjadi? Saya dan Fakhri berasa sedang beradu argumen. Bagi saya, kelas prof Machasin adalah momok yang mematikan, yang sepanjang perkuliahan rasanya sulit untuk bernafas. Respons beliau saat ada misunderstanding dari kami itu yang selalu membuat saya ketar-ketir, bahkan sampai tidak nafsu makan, mual, keringat dingin dari sehari sebelum pertemuan dimulai. (Emoji meleyot)

Itulah culture shock yang sesungguhnya; mendapatkan iklim belajar yang terbangun sehat. Jika anda pernah merasa menjadi mahasiswa pasif, yang kerjaannya hanya nongkrong, lalu dipertemukan dengan circle yang menuntut anda untuk berwawasan luas, apa yang anda lakukan? Menangis? Tentu saja. Di kondisi seperti itu, rasanya saya ingin melahap semua bacaan dalam waktu sekejap, lalu menyulap diri saya menjadi manusia pintar nan kritis. Konyol!

Bagi saya saat itu, upaya paling rasional adalah berjalan di lintasan masing-masing. Jika anda tidak tahu arah, ya bertanya. Jika anda tidak mampu berjalan sendiri, ya meminta uluran tangan. Sesimpel itu bukan? Sekalipun rasa cemas selalu menghantui, tapi bukankah kita hidup di bawah kecemasan itu sendiri? Merujuk pada apa yang Heidegger sebut sebagai Angst (kegelisahan), bahwa keterlemparan eksistensial kita itu harus dirayakan. Karenanya, di tengah-tengah saya merasakan kecemasan dalam menghadapi peristiwa hidup bersama teman-teman, saya tersadar akan waktu yang tidak banyak. Sehingga, setelah bertemu dengan mereka di Jogja, saya putuskan untuk merayakan hari-hari bersama mereka, tidak hanya dengan berkelana menjadi pengepul pdf, tetapi juga berkelana menjajaki kuliner di Jogja. Begitulah kiranya pesan implisit yang tersampaikan saat selesai—menggunakan istilah Egi—laptopan bareng.

Maka dari itu, SEMUANYA HARUS DIRAYAKAN!