Selasa, 22 Desember 2020

Wanitaku

Hari ini, tepat tanggal 22.12.20, semua laman media sosial dipenuhi dengan ucapan hari ibu. Ada yang bernarasi dengan penuh kenangan, ada juga yang sekedar memberi ucapan disertai emoticon love. Tentu, dilengkapi dengan post foto bersama ibunya masing-masing. Entah, karena sudah baca ucapan orang sana-sini, aku jadi kekurangan hasrat untuk mengucapkan pada Ibu. Ini kali pertama merasa demikian. Sebelumnya, jika sedang di rumah ya akan kuucapkan secara langsung sembari mencium tangan dan memeluknya. Jika sedang tidak di rumah ya via telpon. Masih ada beberapa jam lagi, semoga ada gerakan hati yang menuntun untuk ke sana. Pun jika tidak, dengan memberinya hadiah saat pulang nanti cukup menjadi jalan kebahagiaan. Semoga, jika diberi umur panjang.

Ibu,

Kebersihan hatimu memang tak bisa dilihat dengan mata, namun bisa dirasa oleh hati.

Akankah diriku mampu menjadi sepertimu, wahai Ibu?

Berselimut ketulusan, keikhlasan juga keyakinan.

Sejauh ini, jika harus diungkapkan, anakmu ini tak mampu menatapmu dengan tatapan serius. Jika pun harus, air mata ini tak mampu untuk ditahan. Karenanya, aku memilih untuk menunduk, merasakan pilunya hati. Hanya karena satu hal, aku benci air mata. Ya, aku benci itu.

Tak mampu rasanya untuk menuliskan segudang kesabaran, perjuangan, kekuatan dan ketulusan hati, juga keteguhan doa-mu. Merengkuh dalam sujud kepada-Nya serasa menjadi rutinitasmu di kala angan tak sampai pada realita. Tak ada lagi tempat bercurah, selain kepada-Nya. Engkau, sangat tidak mungkin mencurahkan pada anak-anakmu, karena lembutnya perasaanmu dan sikap enggan merepotkan juga memberi beban pada anak-anakmu. Walaupun begitu, anak bungsumu ini adalah seorang wanita, saya pun bisa merasakan pedihnya hati saat disakiti. Namun aku menyadari, sakit yang aku rasa tak pernah sebanding dengan sakit yang engkau rasa. Saat engkau berkata, “Demi anak, Ibu harus bertahan.” Adakah jiwa anak yang tidak bergejolak?

Walaupun dikata tidak romantis, tapi memang sikap itu yang aku berikan di momen-momen menyakitkan. Jika harus datang dan memberimu kekuatan, yang ada hanya air mata yang mengalir deras. Lagi, aku menghindari itu. Sikap yang kuberikan adalah kekuatan jiwa-raga ketika berdiri di hadapanmu. Dengan begitu, engkau memiliki energi positif untuk kuat menyanggah diri. Bukan dalam artian apatis, aku pun yakin, engkau tidak ingin menaruh rasa sakit kepada anak-anakmu. Kepiluan itu cukup dirasa oleh masing-masing hati. Yang paling utama adalah sikap kuat di diri kita masing-masing. Dan itu berhasil kita lalui dengan jerih payah tak terhitung.

Bahwa wanita harus kuat dan tegar, meski hatinya patah sepatah-patahnya. Ketauhilah, wanita akan memilih untuk diam daripada berbicara yang akan berujung pada keributan. Wanita di hadapanku adalah wanita pendiam. Sudah bisa ditebak, jika pribadinya dikecewakan dan disakiti dalam skala yang tidak terhitung, jangan harap ia akan diam seribu kata. Ia akan mengeluarkan segala unek-uneknya, tapi hanya dalam waktu sesaat. Selebihnya, akan diam dan meratapi lukanya sendirian, dalam keheningan.

Sekarang, atas kekuatan doa yang engkau haturkan pada pemilik skenario, Dia ijabah 100%. Merinding saat mendengar ucapan, “Ibu ndungo sampe jungkir walek.” Ini adalah bentuk keseriusan doa ibu. Jadi, jangan pernah putus dari rahmat Allah berupa kelapangan hati untuk berdoa. Bersyukurlah masih diberi kemudahan untuk kembali ke Sang empunya. Tentu, tidak hanya di kala butuh saja. kami punya doa, kamu?

Selasa, 24 November 2020

Mbolang ke Jogja

Kita hanya butuh rasa percaya, entah pada diri sendiri atau pun pada orang lain.

Apa definisi kawan menurut kalian? Sudah bisa dipastikan, definisi yang tertuangkan berstatus subjektif. Tentu tidak jauh dari pengalaman juga konteks. Dalam konteks ini misalnya, kawan, saya definisikan sebagai seseorang yang memberi motivasi, memancing kita untuk bisa lebih dari apa yang dibayangkan. Well, thanks a lot to ma partner, Nur Anis and ma motivator, Muhafi.

Beberapa hari yang lalu, tepat setahun acara konferensi. Ada salam dari App Photos yang berisi “Look back at 18 Nov 2019”. Tanpanya, sangat memungkinkan untuk terlupa. Sampai saat ini, yang masih membekas dan akan terus ada di memori adalah our awesome journey, as a nekad traveller. Bukan momen seminar atau pun presentasi, melainkan pengalaman berharga yang mungkin akan dianggap gila oleh sebagian orang. Pasalnya, yang kami lakukan jauh dari legitimasi umum atas perempuan, bahwa perempuan selalu manja, lemah, dan sebagainya.

Kami, manusia sudden planner yang tidak tau menau mengenai arah di Jogja. Jika manusia normal, segala hal harus dipersiapkan sebelum bepergian, terutama tempat bermalam. Tidak dengan kami. Oh, bukan berarti kami tidak normal. Kami manusia normal yang menginginkan sesuatu yang lebih.

Kisah mbolang kami dimulai ketika sampai di stasiun Lempuyangan, Jogja. Kereta tiba pada pukul 4 sore, sama dengan lirik lagu “sesuatu di Jogja”. Satu hal yang mulai dipikir, “Mau kemana kita?”. Kami pun memutuskan untuk shalat terlebih dahulu di tempat parkir depan stasiun. Sembari menungguku shalat, si Anis mencoba merayu bapak-bapak penjaga parkir agar diberi potongan harga untuk sewa kamar dan motor. Oh, cukup bisa membuktikan ucapan kawan KKN nya. Haha. Aku mencoba menghubungi orang yang ku temui saat KKN. Teringat, beliau punya bisnis di Jogja. Sedikit harap dapat tumpangan gratis di sana. Satu prinsip yang kami pegang, “cari gratisan.” Suatu keberuntungan untuk kami. Beliau sedang di Jogja untuk beberapa urusan dan saat itu sedang nongki tidak jauh dari stasiun. Buru-buru kami meninggalkan tempat parkir, karena ada banyak keraguan untuk menginap di sana. Tapi, kami ucapkan banyak terima kasih atas kebaikan Bapak.

Sampailah kami di tempat nongki beliau. Kami duduk menikmati atmosfer cafe bertema outdoor di Jogja. Sungguh menentramkan. Lagi-lagi, gunanya punya banyak relasi adalah untuk direpoti. Ini perspektif yang sangat buruk, tapi memang begitu adanya. Waktu itu kami menjadi ekor mereka, mengikuti segala rute yang hendak dijalankan sebelum kami datang. Mengantar kawannya ke bandara, mampir ke Kopi Oemah Martani, hingga mencarikan kami tempat penginapan. Reddoorz menjadi satu pilihan. Alasannya hanya satu, harganya paling murah dibandingkan dengan penginapan lainnya. Big thanks to Mas Nugraha yang rela kami repoti. Semoga bisa berjumpa lagi di tanah Sanga-sanga.

Keesokan harinya adalah acara konferensi. Tidak ada persiapan lebih, mengingat materi yang kami tulis bagian dari refleksi kegiatan KKN kami. Karena kontribusi Anis sudah banyak tertuang di pra acara, maka presentasi dibebankan padaku. Saat menunggu giliran, kami tidak fokus ke presentasi. Tapi fokus pada tempat tidur untuk hari itu. Aku mengeluarkan jurus anti basa-basi pada satu peserta. Sebelumnya, Anis telah ngobrol banyak padanya. Aku hanya memantau, dan analisaku mengatakan bahwa dia anak yang sangat loyal. “Kamu ngekos di mana, Dek?” tanyaku. Dia mahasiswi semester 4, menduduki posisi sebagai tuan rumah. Pertanyaanku ditanggapi dengan baik olehnya, ditambah lagi dengan penawaran yang sesuai harapan, “Mbak mau nginep di kosku ta? Ayo gapapa, aku sendirian.” Ku berikan kedipan manja pada Anis seraya mengatakan, “Sikaaatttt!”

Malam hari, kami berdua memutuskan untuk pergi ke Malioboro. Aku mengajak kawan satu alumni yang kuliah di Jogja. Kami bertemu di tengah-tengah keramaian jalan Malioboro. Kemudian, berjalan hingga sampai 0 kilometer Malioboro dan tembus ke depan pintu gerbang Keraton. Tidak sempurna rasanya jika ke Jogja tidak menikmati seduhan kopi yang tersaji di meja cafe bertemakan outdoor dengan alunan musik. Entah, suasana cafe outdoor selalu awesome, ditambah lampu kuning yang menjadikannya semakin manis. Kami menyudahi acara ngopi bersama menjelang pukul 00.00. mengingat jarak tempat tinggal kawan dengan Malioboro cukup jauh, ditambah lagi dia seorang diri. Belum lagi kisah klitih yang suka meresahkan masyarakat.

Sebab kisah itu, kami berdua tidak berani kembali ke kos tengah malam. Kami pun memutuskan untuk pulang pagi. Anda pernah merasakan tengah malamnya Malioboro? Oh, very recommended for healing. Sepi namun istimewa. Hanya ada beberapa penjual yang memang berjualan ketika mayoritas penjual tutup lapak. Kami, duduk di kursi yang tersedia di sepanjang jalan Malioboro sambil menahan rasa kantuk, terutama diriku. Kemudian memutuskan untuk makan mie, duduk lagi, jalan dan duduk santai di Loko Coffee. Sampai tiba pukul 3 pagi. Kami pun memutuskan kembali ke kos. Sesampainya di gang menuju kos, aku mendapati sebuah patung berparas hantu. “Neng, itu apa?” kataku sambil narik mundur tangannya. Yang sebelumnya jalan sambil menertawakan diri sendiri, tiba-tiba berubah menjadi rasa cemas campur takut. “Ha? Apa, Mbak? Aku ga keliatan.” kata dia. Sialnya, mata dia minus dan kondisi tidak memakai kaca mata. Bisa dibayangkan betapa berisiknya kami? Sampai ada warkamsi (warga kampung situ) yang keluar ke halaman. Menyaksikan kami sedang ketakutan. Sambil menyembunyikan rasa malu, ku tanya pada nya, “Mas, maaf. Apa itu aman?”. Beliau tersenyum agak lebar dan berkata, “Aman, Mbak. Nggak usah takut.” Sialnya, kami dibohongi sebuah patung buatan manusia.

Siangnya, kami memutuskan untuk kembali ke Surabaya. Anis mengajak ke tempat yang disarankan kawanku saat nongki. Aku ragu bukan main, pasalnya ada banyak pertimbangan. Salah duanya, kami yang tak tau arah dan hanya mengandalkan bis Trans Jogja yang rutenya pun kami tak tau. Oke, sedikit bocoran analisaku pada karakternya Anis. Semoga benar. Dia tipikal orang yang kekeh, keras kepala, ambisius jika menginginkan sesuatu. Hampir sama denganku, bedanya terkadang aku masih banyak pertimbangan -tergantung sikon. Saat itu, kekehnya bukan main. Masukan apa pun bakal terhempas oleh keinginannya. Bagusnya, dia punya keyakinan yang cukup tinggi. Pengikut prinsip “Impossible is nothing.” Akhirnya, ku ikutin kemauan dia. Kami menyusuri jalan dengan Trans Jogja. Sejauh perjalanan yang kami tempuh, belum tampak tanda-tanda tempat yang kami cari. Pada akhirnya kami memutuskan untuk berhenti di FK UGM untuk shalat. Anak mbambung maen ke UGM, yay! Setelah itu, kami menuju terminal untuk kembali ke Surabaya.

Tidak cukup sampai di situ. kami menghabiskan separuh malam di bis yang semakin malam semakin sepi penumpang dan mayoritas penumpangnya adalah laki-laki. Ditambah lagi, Anis tertidur sepanjang perjalanan. “Sial! Ngajak pulang naik bis tapi tidur terus.” gumamku. Kami pun sampai di terminal Bungurasih pada tengah malam. Jangan tanya betapa takutnya kami dengan para lelaki yang menawarkan ini-itu. Baiknya, kami berdua tidak saling menampakkan rasa takut itu. So, kami bisa karena saling percaya.

Ada sebuah amanah yang harus disampaikan. Sebuah jurnal refleksi tentang sosial-alam. Bukti abdi melalui literasi, pengguguran kewajiban atas mahasiswa seutuhnya, konferensi jadi ajang penemuan diri. Tak ada yang lebih, acara hanya sekedar alibi, tapi tidak untuk konsep tulisan. Konsep dirasa begitu labil, karena saking banyaknya hal yang ingin diutarakan. Konsep itu yang menjadikan kita sebagai manusia syukur nikmat, karena telah memfungsikan otak secara baik. Otak dibebaskan mencari jalan. Walhasil, tidak jarang yang terlontar adalah sesuatu di luar pemahaman secara umum. Dan, berujung pada tawa renyah.

Kami menyadari, ada banyak kekurangan di tulisan tersebut. Itu karena satu hal di atas. Intensitas waktu lebih banyak dicurahkan pada konsep, bukan pada menulis. Belum lagi, mendekati hari H pengumpulan naskah, aku memilih untuk join di acara hiking bersama kawan-kawan. Ditambah lagi, partner yang tiba-tiba tumbang. Tulisan itu pernah ku baca ulang saat tidak sengaja menemukannya di prosiding. Senyum-senyum sambil bergumam, “Ini jadi gambaran perkembangan dalam menulis.”

Bocoran sedikit dari niat buruk kami yang dinamai “ngrampok secara halus”. Ya, sebuah kemustahilan untuk menempuh jarak tanpa adanya kepentingan. Kalau pun liburan, akan ada beribu alasan untuk tidak mendapatkan restu. Mengingat, 4 tahun yang lalu, Jogja ditentang keras oleh orang rumah. Ya, Jogja istimewa. Selalu ada kisah di balik keistimewaannya. :)

Sekian kisah kami. Kisah yang akan jadi tawa jika dibaca ulang beberapa tahun ke depan.

Semoga kita bisa merajut kisah baru. S2 di Jogja, misalnya. Semoga Tuhan meridhoi.

Sabtu, 14 November 2020

Terima Kasih Kawan!

“Duniaku indah saat bersamamu!” mungkin begitu gambarannya.

Di usia yang katanya harus menatap masa depan dengan serius, aku masih enggan beranjak dari masa-masa penuh tawa. Masih enggan untuk meninggalkan kebiasaan yang penuh kebahagiaan. Saat ini, sepertinya aku mengiyakan salah satu perspektif kawan soal usia, “Bukan usia yang menarik jika kita masih terjebak pada nilai-nilai umum yang mendefinisikan bagaimana manusia yang baik. Memiliki pekerjaan tetap, memiliki pasangan, memiliki keturunan, dan sebagainya, dan seterusnya.” Jadi, kapan kita main? (disertai emoticon imut-imut menggemaskan)

Aku masih sama, aku yang akan lebih loyal jika kawan-kawanku bisa menerimaku. Jangan pernah ragukan loyalitasku jika kita sudah pernah duduk bareng, ngobrol bareng sampai ketawa bareng. Apapun yang kalian butuhkan, selagi aku mampu, bakal aku lakukan. Sampai ada satu kawan menasehati, “Sikapmu selalu tulus ke circle-mu, tapi satu hal, jangan sampai lupakan dirimu.” Tenang, aku selalu pasang batas untuk apapun.

2020. Malangnya nasibmu yang dikutuk seluruh penghuni bumi. Tak bisa dipungkiri, aku pun merasakan hal yang sama. Bagaimana tidak? Segala momen yang digambarkan dengan indah, bermanuver menjadi momen yang biasa-biasa saja. Bahkan, di penghujung tahunmu, aku harus dipertemukan dengan perpisahan. Satu hal yang wajar dalam sebuah pertemuan. Namun, kali ini berbeda. Suatu perpisahan yang sebelumnya tidak pernah ada momen untuk berbahagia bersama.

Malam itu, satu kawan bertanya, “Lebih sakit mana meninggalkan atau ditinggalkan?”

Ku jawab, “Mayoritas orang akan menjawab ditinggalkan, dan aku setuju.“ 

Buru-buru ia katakan, “Karenanya aku memilih untuk meninggalkan, karena sudah terlalu banyak yang pergi. Aku takut akan sendirian, dan menjadi korban ditinggalkan banyak kawan.”

Dengan nada agak tinggi, “Sial! Itu artinya kau bakal ninggalin aku?”

- - -

Rupanya, lagunya Dere yang berjudul ‘kota’ itu cukup kuat untuk menggambarkan kondisi saat ini. Mohon maaf, ini interpretasi yang subjektif dari seorang perempuan jomblo. Jadi, dapat disimpulkan bahwa lagu itu cocok untuk ditujukan kepada para kawan. Ketika berkunjung ke Surabaya, selalu ada bahagia namun banyak sekali kerinduan pada kawan-kawan yang telah lama meninggalkan kota. Ya, hidup adalah pilihan. Sementara, aku masih memilih untuk merindu Surabaya dengan segala kisahnya.

Oh, ini tulisan dalam benak mau mengulas kenangan-kenangan bersama kawan, mau mengulas beberapa kawan yang sedikit banyak aku hafal kebiasaannya, juga mau mengucapkan banyak-banyak terima kasih atas segala kebaikan mereka. Tapi, tiba-tiba kepikiran akan harapan satu momen untuk berjumpa sekaligus melukis kisah baru. Ya, momen pengambilan ijazah. Semoga ada bonus yang terselipkan. Jadi, tulisan tentang itu bisa ditunda dulu. heuheu

Rabu, 11 November 2020

Serba-serbi Momen Menjelang November

Welcome November rain!

Segenap harap tergantungkan di detik-detik penghujung tahun. Semoga harap itu tak turut berjatuhan bersamaan dengan air hujan. Cukup untuk beberapa bulan sebelumnya yang memberikan kesan biasa-biasa saja, kamu jangan ya November. :)

Jika setiap 24 jam sekali akan berganti hari, maka tidak mungkin segala hal akan stagnan. Jika bayi saja semakin hari semakin ada perubahan pada dirinya, maka akan sama dengan bumi seisinya yang terus mengalami perubahan. Tanpa kita sadari, sampai detik ini sudah banyak perubahan yang kita lalui. Perubahan sikap doi, misalnya. Hehe, canda. Satu yang tidak lepas dari perubahan adalah budaya. Kita hidup berdampingan dengan perubahan budaya, seperti pada masa ini. Masa pandemi yang secara tiba-tiba merubah budaya di segala penjuru dunia. Kuntowijoyo dalam esainya yang ditulis pada kisaran tahun 90-an mengatakan bahwa diharapkan pada tahun 2020, umat manusia siap menghadapi perubahan.

Tepat sekali bidikan Pak Kuntowijoyo mengenai budaya baru di tahun 2020, di mana kita semua, umat manusia se-antero jagat raya memasuki seabrek budaya baru, salah satunya budaya digitalisasi. Cukup berat bagi semua kalangan, terlebih bagi para pelajar yang kehilangan banyak momen. Tentunya, tidak hanya pelajar yang merasakan dampaknya. Ya, saya hanya menilai dari sisi pelajar, karena konten ini hanya berisi curahan hati seorang pelajar atas hilangnya banyak momen di penghujung perkuliahan. Dimulai dari bimbingan skripsi, sidang, yudisium hingga wisuda. Itu semua dilampaui secara daring!

It’s okay bimbingan secara daring, tapi tidak untuk mengerjakan skripsi di rumah. Saya merasa hampir gila dalam menyelesaikan skripsi di rumah. Pertama, tidak ada yang bisa diajak diskusi. Kedua, bosan mengerjakan di ruang pribadi. Ketiga, tidak bisa menerjemah dengan baik, ditambah lagi idealisme yang semakin diturutin malah semakin ngelamak. Tapi, suka girang sendiri kalo idealisme itu berhasil. Ada kepuasan tersendiri. Layaknya pepatah yang mengatakan bahwa kelak yang kita sebut jerih payah itu akan menjadi sesuatu yang menggelikan bahkan penuh gelak tawa. Betapa konyolnya diri ini saat meratapi riuhnya skripsi.

Dan, ternyata bisa sidang juga. Tepat 8 semester. Sidang di rumah, di kamar milik pribadi, di meja penuh kisah. Tak ada persiapan, skripsi belum dibaca tuntas. Kata kawan yang sefrekuensi, “Tim sans people mah gitu.” Kata kawan yang menekuni dunia literasi, “Ngapain dibaca ulang, lha wong tulisan sendiri.” Apa pun itu, tetap ada perasaan dag dig dug. Entah, ketakutan apa yang dirasa hingga jantung berdetak kencang, perut tidak nyaman, hingga suara jadi terbata-bata. Semua itu terjadi satu jam sebelum sidang dimulai. Saat sudah dimulai? Loss. Saya teringat dengan satu pertanyaan saat mengikuti pelatihan public speaking, “Sebenarnya, apa yang manusia takutkan?” Ok, silahkan dijawab!

Yudisium sendirian di rumah memang tidak pernah terpikirkan selama menjelajahi matakuliah. Sedih? Jelas iya. Kata banyak wisudawan yang saya jumpai selama ini, “Yudisium adalah momen paling sakral sebelum wisuda.” Ironinya, saya tidak merasakan kesakralan itu sejak join link zoom Yudisium. Untuk mencapai derajat formal saja, sepertinya masih jauh. Beberapa hal kerap mengusik keseriusan prosesi, seperti background para peserta yang acapkali merusak pemandangan, chatting para peserta yang penuh gelak tawa juga suara putus-putus akibat buruknya koneksi. Itu semua adalah serba-serbi prosesi Yudisium online. Namun, saat memasuki pidato dari mahasiswa terbaik fakultas, Bapak Dekan dan Bapak tamu undangan -yang saya rasakan- suasana berubah menjadi sedikit lebih sakral. Terima kasih untuk segala pesan yang tersampaikan.

Terakhir, wisuda online. Tepat pada tanggal 21 Oktober 2020. Wisuda yang diwacanakan menjadi hari paling menyenangkan berbalik menjadi hari yang biasa-biasa saja. Salah satu teman menulis dalam akun blognya, “Pandemi melunturkan tradisi wisuda yang penuh khidmat, dan menggantinya dengan momen yang biasa-biasa saja, sebab dilaksanakan secara daring.” Tidak ada persiapan apa pun menjelang prosesi. Oh, hanya sepaket toga yang saya beli di kawan lama. “Lumayan untuk kenang-kenangan, lebih-lebih jika dipake di wisuda S2”, pikir saya. Pagi hari, bapak menyambut dengan ucapan, “Wisuda kok online.” Dalam batin, saya berucap, “Oke, Pak. Tos dulu kita.” Dan, saat prosesi, Bapak enggan menemani. Ibu sebelumnya juga sibuk memasak, namun saya beri intruksi untuk bersiap-siap. Tidak ada perasaan kecewa atau apa pun atas sikap bapak. Ya, karena ini hanya suatu formalitas. Bahkan, tidak mengikuti prosesinya pun akan tetap dinyatakan lulus dan mendapatkan ijazah.

Kata orang bijak -entah beneran bijak atau hanya sekedar penguat diri-, “Wisuda itu tidak penting. Yang paling penting adalah bagaimana setelah wisuda.” Menurut saya, tidak ada yang lebih penting dibandingkan dengan esensi itu sendiri. Dan esensi wisuda adalah rasa nano-nano bersama kawan dan orang-orang terdekat. Haha. Karena, wisuda akan jadi momen perpisahan bersama mereka. Urusan setelah wisuda mau ngapain ya seharusnya sudah dipersiapkan sedari duduk di bangku kuliah. Seharusnya lho yaaa. Ini sudut pandang dari manusia tak ber-esensi. :D

Senin, 07 September 2020

Tipuan Ala Penulis

Ada baiknya tulisan ini dimulai dengan ucapan permohonan maaf. Pasalnya, tulisan ini adalah balasan atas tulisan teman yang sebelumnya dipost di blognya. Teman-teman bisa mengunjungi blog ini . Tulisannya sungguh melatih neuron-neuron otak bekerja lebih dari biasanya. Tulisan yang menyajikan banyak diskursus tapi ringan dibaca hingga menjadikannya tampak gagah. Dah, dijamin tulisannya renyah melebihi renyahnya rengginang. Hehe. Jadi, sangat bisa dirasakan seberapa njomplang-nya tulisan ini dengan tulisannya?

Oh, dear Nur Anis, my partner yang merasa ditipu penulis, apakah tipuan itu membuatmu kapok? Atau justru itu menjadi penyulut api untuk ke depannya? Masih terngiang-ngiang bagaimana marahnya kamu saat mengetahui ia membatalkan niatnya untuk ikut konferensi. Katamu, “Sial! Cacak njebak kita.” Hei, di waktu-waktu tertentu, penyulut itu penting. Tadi pagi, kompor di rumah rusak. Sekarang, mari menganalogikannya. Pada kompor yang bagian atomnya rusak, ia membutuhkan penyulut api agar bisa menyala menghasilkan api. Anggap saja, ada elemen dari diri kita yang rusak, entah mental, tekad atau pun keberanian. Dalam kondisi seperti ini, kita membutuhkan penyulut bukan? Penyulut agar berani mengeluarkan kemampuan yang selama ini tertumpuk oleh bobroknya mental, tekad juga keberanian.

Atas tipuan itulah, satu harapan sejak maba baru terealisasi di penghujung perkuliahan. Sejak maba, saya mencoba mencari partner untuk suatu project perlombaan, tapi tidak kunjung ada yang meng-iya-kan. Ya, mental lomba sudah tertanam sejak memasuki gerbang sekolah menengah. Dulu, yang selalu diikuti adalah perlombaan dalam bidang olimpiade matematika dan sebangsanya. Keluar dari bangku sekolah dan memasuki gerbang baru dengan jurusan yang -menurut saya- banting setir dari jurusan sebelumnya membuat saya kikuk dengan bidang perlombaannya. Pada akhirnya, mental itu pun pupus. Sungguh ironi.

Back to writer.

Sebelumnya sudahkah mengenal sosok penulis itu? Baik, akan saya kenalkan sedikit. Ia adalah Cak Lutfi. Entah bagaimana ceritanya panggilan legendaris ‘Cak’ itu disematkan di namanya. Ia, seorang penulis yang penuh dengan deadline. Untuk mengajaknya liburan saja, kami harus mencuri-curi waktunya. Oh, tentang on time? Bergurulah padanya. Tentang membaca-menulis, apalagi. Cak Lut adalah salah satu orang yang saya kenal yang berusaha hidup abnormal. Tapi, kemarin mengaku kalah dengan tingkah saya dan segelintir kawan. Heuheu, sekali lagi mohon maaf untuk hal itu.

Jika boleh sedikit mencurahkan, selama ini saya banyak belajar perihal menulis darinya. Tentang blog ini, misalnya. Pesan yang terus saya ingat -walau tak sepenuhnya dilakukan- adalah jangan sampai blog-nya mati, tak diisi tulisan. Saya juga masih mengingat perkataannya via Whatsapp saat saya melontarkan sebuah pertanyaan perihal teknik menulis esai. Ia mengatakan bahwa tulisan yang baik adalah tulisan yang memuat perangkat literar secara maksimal, kurang lebih mencakup 30 istilah. Saat itu, Cak Lut hanya menyebutkan beberapa saja, karena kurang nyaman jika harus ngobrol tentang teknis menulis secara online. Oke Cak, nanti saya tagih di lain waktu. Semoga masih diberi kesempatan untuk duduk bersama, menikmati sajian minuman (selain kopi, misalnya) dan lagu indie di warung kopi. Hehe