Kita hanya butuh rasa percaya, entah pada diri sendiri atau pun pada orang lain.
Apa definisi kawan menurut kalian? Sudah bisa dipastikan, definisi yang tertuangkan berstatus subjektif. Tentu tidak jauh dari pengalaman juga konteks. Dalam konteks ini misalnya, kawan, saya definisikan sebagai seseorang yang memberi motivasi, memancing kita untuk bisa lebih dari apa yang dibayangkan. Well, thanks a lot to ma partner, Nur Anis and ma motivator, Muhafi.
Beberapa hari yang lalu, tepat setahun acara konferensi. Ada salam dari App Photos yang berisi “Look back at 18 Nov 2019”. Tanpanya, sangat memungkinkan untuk terlupa. Sampai saat ini, yang masih membekas dan akan terus ada di memori adalah our awesome journey, as a nekad traveller. Bukan momen seminar atau pun presentasi, melainkan pengalaman berharga yang mungkin akan dianggap gila oleh sebagian orang. Pasalnya, yang kami lakukan jauh dari legitimasi umum atas perempuan, bahwa perempuan selalu manja, lemah, dan sebagainya.
Kami, manusia sudden planner yang tidak tau menau mengenai arah di Jogja. Jika manusia normal, segala hal harus dipersiapkan sebelum bepergian, terutama tempat bermalam. Tidak dengan kami. Oh, bukan berarti kami tidak normal. Kami manusia normal yang menginginkan sesuatu yang lebih.
Kisah mbolang kami dimulai ketika sampai di stasiun Lempuyangan, Jogja. Kereta tiba pada pukul 4 sore, sama dengan lirik lagu “sesuatu di Jogja”. Satu hal yang mulai dipikir, “Mau kemana kita?”. Kami pun memutuskan untuk shalat terlebih dahulu di tempat parkir depan stasiun. Sembari menungguku shalat, si Anis mencoba merayu bapak-bapak penjaga parkir agar diberi potongan harga untuk sewa kamar dan motor. Oh, cukup bisa membuktikan ucapan kawan KKN nya. Haha. Aku mencoba menghubungi orang yang ku temui saat KKN. Teringat, beliau punya bisnis di Jogja. Sedikit harap dapat tumpangan gratis di sana. Satu prinsip yang kami pegang, “cari gratisan.” Suatu keberuntungan untuk kami. Beliau sedang di Jogja untuk beberapa urusan dan saat itu sedang nongki tidak jauh dari stasiun. Buru-buru kami meninggalkan tempat parkir, karena ada banyak keraguan untuk menginap di sana. Tapi, kami ucapkan banyak terima kasih atas kebaikan Bapak.
Sampailah kami di tempat nongki beliau. Kami duduk menikmati atmosfer cafe bertema outdoor di Jogja. Sungguh menentramkan. Lagi-lagi, gunanya punya banyak relasi adalah untuk direpoti. Ini perspektif yang sangat buruk, tapi memang begitu adanya. Waktu itu kami menjadi ekor mereka, mengikuti segala rute yang hendak dijalankan sebelum kami datang. Mengantar kawannya ke bandara, mampir ke Kopi Oemah Martani, hingga mencarikan kami tempat penginapan. Reddoorz menjadi satu pilihan. Alasannya hanya satu, harganya paling murah dibandingkan dengan penginapan lainnya. Big thanks to Mas Nugraha yang rela kami repoti. Semoga bisa berjumpa lagi di tanah Sanga-sanga.
Keesokan harinya adalah acara konferensi. Tidak ada persiapan lebih, mengingat materi yang kami tulis bagian dari refleksi kegiatan KKN kami. Karena kontribusi Anis sudah banyak tertuang di pra acara, maka presentasi dibebankan padaku. Saat menunggu giliran, kami tidak fokus ke presentasi. Tapi fokus pada tempat tidur untuk hari itu. Aku mengeluarkan jurus anti basa-basi pada satu peserta. Sebelumnya, Anis telah ngobrol banyak padanya. Aku hanya memantau, dan analisaku mengatakan bahwa dia anak yang sangat loyal. “Kamu ngekos di mana, Dek?” tanyaku. Dia mahasiswi semester 4, menduduki posisi sebagai tuan rumah. Pertanyaanku ditanggapi dengan baik olehnya, ditambah lagi dengan penawaran yang sesuai harapan, “Mbak mau nginep di kosku ta? Ayo gapapa, aku sendirian.” Ku berikan kedipan manja pada Anis seraya mengatakan, “Sikaaatttt!”
Malam hari, kami berdua memutuskan untuk pergi ke Malioboro. Aku mengajak kawan satu alumni yang kuliah di Jogja. Kami bertemu di tengah-tengah keramaian jalan Malioboro. Kemudian, berjalan hingga sampai 0 kilometer Malioboro dan tembus ke depan pintu gerbang Keraton. Tidak sempurna rasanya jika ke Jogja tidak menikmati seduhan kopi yang tersaji di meja cafe bertemakan outdoor dengan alunan musik. Entah, suasana cafe outdoor selalu awesome, ditambah lampu kuning yang menjadikannya semakin manis. Kami menyudahi acara ngopi bersama menjelang pukul 00.00. mengingat jarak tempat tinggal kawan dengan Malioboro cukup jauh, ditambah lagi dia seorang diri. Belum lagi kisah klitih yang suka meresahkan masyarakat.
Sebab kisah itu, kami berdua tidak berani kembali ke kos tengah malam. Kami pun memutuskan untuk pulang pagi. Anda pernah merasakan tengah malamnya Malioboro? Oh, very recommended for healing. Sepi namun istimewa. Hanya ada beberapa penjual yang memang berjualan ketika mayoritas penjual tutup lapak. Kami, duduk di kursi yang tersedia di sepanjang jalan Malioboro sambil menahan rasa kantuk, terutama diriku. Kemudian memutuskan untuk makan mie, duduk lagi, jalan dan duduk santai di Loko Coffee. Sampai tiba pukul 3 pagi. Kami pun memutuskan kembali ke kos. Sesampainya di gang menuju kos, aku mendapati sebuah patung berparas hantu. “Neng, itu apa?” kataku sambil narik mundur tangannya. Yang sebelumnya jalan sambil menertawakan diri sendiri, tiba-tiba berubah menjadi rasa cemas campur takut. “Ha? Apa, Mbak? Aku ga keliatan.” kata dia. Sialnya, mata dia minus dan kondisi tidak memakai kaca mata. Bisa dibayangkan betapa berisiknya kami? Sampai ada warkamsi (warga kampung situ) yang keluar ke halaman. Menyaksikan kami sedang ketakutan. Sambil menyembunyikan rasa malu, ku tanya pada nya, “Mas, maaf. Apa itu aman?”. Beliau tersenyum agak lebar dan berkata, “Aman, Mbak. Nggak usah takut.” Sialnya, kami dibohongi sebuah patung buatan manusia.
Siangnya, kami memutuskan untuk kembali ke Surabaya. Anis mengajak ke tempat yang disarankan kawanku saat nongki. Aku ragu bukan main, pasalnya ada banyak pertimbangan. Salah duanya, kami yang tak tau arah dan hanya mengandalkan bis Trans Jogja yang rutenya pun kami tak tau. Oke, sedikit bocoran analisaku pada karakternya Anis. Semoga benar. Dia tipikal orang yang kekeh, keras kepala, ambisius jika menginginkan sesuatu. Hampir sama denganku, bedanya terkadang aku masih banyak pertimbangan -tergantung sikon. Saat itu, kekehnya bukan main. Masukan apa pun bakal terhempas oleh keinginannya. Bagusnya, dia punya keyakinan yang cukup tinggi. Pengikut prinsip “Impossible is nothing.” Akhirnya, ku ikutin kemauan dia. Kami menyusuri jalan dengan Trans Jogja. Sejauh perjalanan yang kami tempuh, belum tampak tanda-tanda tempat yang kami cari. Pada akhirnya kami memutuskan untuk berhenti di FK UGM untuk shalat. Anak mbambung maen ke UGM, yay! Setelah itu, kami menuju terminal untuk kembali ke Surabaya.
Tidak cukup sampai di situ. kami menghabiskan separuh malam di bis yang semakin malam semakin sepi penumpang dan mayoritas penumpangnya adalah laki-laki. Ditambah lagi, Anis tertidur sepanjang perjalanan. “Sial! Ngajak pulang naik bis tapi tidur terus.” gumamku. Kami pun sampai di terminal Bungurasih pada tengah malam. Jangan tanya betapa takutnya kami dengan para lelaki yang menawarkan ini-itu. Baiknya, kami berdua tidak saling menampakkan rasa takut itu. So, kami bisa karena saling percaya.
Ada sebuah amanah yang harus disampaikan. Sebuah jurnal refleksi tentang sosial-alam. Bukti abdi melalui literasi, pengguguran kewajiban atas mahasiswa seutuhnya, konferensi jadi ajang penemuan diri. Tak ada yang lebih, acara hanya sekedar alibi, tapi tidak untuk konsep tulisan. Konsep dirasa begitu labil, karena saking banyaknya hal yang ingin diutarakan. Konsep itu yang menjadikan kita sebagai manusia syukur nikmat, karena telah memfungsikan otak secara baik. Otak dibebaskan mencari jalan. Walhasil, tidak jarang yang terlontar adalah sesuatu di luar pemahaman secara umum. Dan, berujung pada tawa renyah.
Kami menyadari, ada banyak kekurangan di tulisan tersebut. Itu karena satu hal di atas. Intensitas waktu lebih banyak dicurahkan pada konsep, bukan pada menulis. Belum lagi, mendekati hari H pengumpulan naskah, aku memilih untuk join di acara hiking bersama kawan-kawan. Ditambah lagi, partner yang tiba-tiba tumbang. Tulisan itu pernah ku baca ulang saat tidak sengaja menemukannya di prosiding. Senyum-senyum sambil bergumam, “Ini jadi gambaran perkembangan dalam menulis.”
Bocoran sedikit dari niat buruk kami yang dinamai “ngrampok secara halus”. Ya, sebuah kemustahilan untuk menempuh jarak tanpa adanya kepentingan. Kalau pun liburan, akan ada beribu alasan untuk tidak mendapatkan restu. Mengingat, 4 tahun yang lalu, Jogja ditentang keras oleh orang rumah. Ya, Jogja istimewa. Selalu ada kisah di balik keistimewaannya. :)
Sekian kisah kami. Kisah yang akan jadi tawa jika dibaca ulang beberapa tahun ke depan.
Semoga kita bisa merajut kisah baru. S2 di Jogja, misalnya. Semoga Tuhan meridhoi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar