Rabu, 11 November 2020

Serba-serbi Momen Menjelang November

Welcome November rain!

Segenap harap tergantungkan di detik-detik penghujung tahun. Semoga harap itu tak turut berjatuhan bersamaan dengan air hujan. Cukup untuk beberapa bulan sebelumnya yang memberikan kesan biasa-biasa saja, kamu jangan ya November. :)

Jika setiap 24 jam sekali akan berganti hari, maka tidak mungkin segala hal akan stagnan. Jika bayi saja semakin hari semakin ada perubahan pada dirinya, maka akan sama dengan bumi seisinya yang terus mengalami perubahan. Tanpa kita sadari, sampai detik ini sudah banyak perubahan yang kita lalui. Perubahan sikap doi, misalnya. Hehe, canda. Satu yang tidak lepas dari perubahan adalah budaya. Kita hidup berdampingan dengan perubahan budaya, seperti pada masa ini. Masa pandemi yang secara tiba-tiba merubah budaya di segala penjuru dunia. Kuntowijoyo dalam esainya yang ditulis pada kisaran tahun 90-an mengatakan bahwa diharapkan pada tahun 2020, umat manusia siap menghadapi perubahan.

Tepat sekali bidikan Pak Kuntowijoyo mengenai budaya baru di tahun 2020, di mana kita semua, umat manusia se-antero jagat raya memasuki seabrek budaya baru, salah satunya budaya digitalisasi. Cukup berat bagi semua kalangan, terlebih bagi para pelajar yang kehilangan banyak momen. Tentunya, tidak hanya pelajar yang merasakan dampaknya. Ya, saya hanya menilai dari sisi pelajar, karena konten ini hanya berisi curahan hati seorang pelajar atas hilangnya banyak momen di penghujung perkuliahan. Dimulai dari bimbingan skripsi, sidang, yudisium hingga wisuda. Itu semua dilampaui secara daring!

It’s okay bimbingan secara daring, tapi tidak untuk mengerjakan skripsi di rumah. Saya merasa hampir gila dalam menyelesaikan skripsi di rumah. Pertama, tidak ada yang bisa diajak diskusi. Kedua, bosan mengerjakan di ruang pribadi. Ketiga, tidak bisa menerjemah dengan baik, ditambah lagi idealisme yang semakin diturutin malah semakin ngelamak. Tapi, suka girang sendiri kalo idealisme itu berhasil. Ada kepuasan tersendiri. Layaknya pepatah yang mengatakan bahwa kelak yang kita sebut jerih payah itu akan menjadi sesuatu yang menggelikan bahkan penuh gelak tawa. Betapa konyolnya diri ini saat meratapi riuhnya skripsi.

Dan, ternyata bisa sidang juga. Tepat 8 semester. Sidang di rumah, di kamar milik pribadi, di meja penuh kisah. Tak ada persiapan, skripsi belum dibaca tuntas. Kata kawan yang sefrekuensi, “Tim sans people mah gitu.” Kata kawan yang menekuni dunia literasi, “Ngapain dibaca ulang, lha wong tulisan sendiri.” Apa pun itu, tetap ada perasaan dag dig dug. Entah, ketakutan apa yang dirasa hingga jantung berdetak kencang, perut tidak nyaman, hingga suara jadi terbata-bata. Semua itu terjadi satu jam sebelum sidang dimulai. Saat sudah dimulai? Loss. Saya teringat dengan satu pertanyaan saat mengikuti pelatihan public speaking, “Sebenarnya, apa yang manusia takutkan?” Ok, silahkan dijawab!

Yudisium sendirian di rumah memang tidak pernah terpikirkan selama menjelajahi matakuliah. Sedih? Jelas iya. Kata banyak wisudawan yang saya jumpai selama ini, “Yudisium adalah momen paling sakral sebelum wisuda.” Ironinya, saya tidak merasakan kesakralan itu sejak join link zoom Yudisium. Untuk mencapai derajat formal saja, sepertinya masih jauh. Beberapa hal kerap mengusik keseriusan prosesi, seperti background para peserta yang acapkali merusak pemandangan, chatting para peserta yang penuh gelak tawa juga suara putus-putus akibat buruknya koneksi. Itu semua adalah serba-serbi prosesi Yudisium online. Namun, saat memasuki pidato dari mahasiswa terbaik fakultas, Bapak Dekan dan Bapak tamu undangan -yang saya rasakan- suasana berubah menjadi sedikit lebih sakral. Terima kasih untuk segala pesan yang tersampaikan.

Terakhir, wisuda online. Tepat pada tanggal 21 Oktober 2020. Wisuda yang diwacanakan menjadi hari paling menyenangkan berbalik menjadi hari yang biasa-biasa saja. Salah satu teman menulis dalam akun blognya, “Pandemi melunturkan tradisi wisuda yang penuh khidmat, dan menggantinya dengan momen yang biasa-biasa saja, sebab dilaksanakan secara daring.” Tidak ada persiapan apa pun menjelang prosesi. Oh, hanya sepaket toga yang saya beli di kawan lama. “Lumayan untuk kenang-kenangan, lebih-lebih jika dipake di wisuda S2”, pikir saya. Pagi hari, bapak menyambut dengan ucapan, “Wisuda kok online.” Dalam batin, saya berucap, “Oke, Pak. Tos dulu kita.” Dan, saat prosesi, Bapak enggan menemani. Ibu sebelumnya juga sibuk memasak, namun saya beri intruksi untuk bersiap-siap. Tidak ada perasaan kecewa atau apa pun atas sikap bapak. Ya, karena ini hanya suatu formalitas. Bahkan, tidak mengikuti prosesinya pun akan tetap dinyatakan lulus dan mendapatkan ijazah.

Kata orang bijak -entah beneran bijak atau hanya sekedar penguat diri-, “Wisuda itu tidak penting. Yang paling penting adalah bagaimana setelah wisuda.” Menurut saya, tidak ada yang lebih penting dibandingkan dengan esensi itu sendiri. Dan esensi wisuda adalah rasa nano-nano bersama kawan dan orang-orang terdekat. Haha. Karena, wisuda akan jadi momen perpisahan bersama mereka. Urusan setelah wisuda mau ngapain ya seharusnya sudah dipersiapkan sedari duduk di bangku kuliah. Seharusnya lho yaaa. Ini sudut pandang dari manusia tak ber-esensi. :D

Tidak ada komentar:

Posting Komentar